Sabtu, 11 Desember 2010

Manusia-nya!



Seperti kebanyakan Netizen (orang dalam kesehariannya selalu bersentuhan dengan internet), setiap harinya saya sengaja men-jejal-i diri saya dengan banyak sekali informasi. Dari bangun tidur sampai mau tidur saya belum bisa lepas dengan yang namanya informasi. Meskipun saya membatasi dan memilih-milih berita, tetap saja informasi apapun adalah penting. Dan untuk ukuran jaman sekarang akses ke sumber informasi adalah hal yang vital.

Dulu sewaktu era televisi sedang hangat, dimana saluran TV hanya ada TVRI maka acara Dunia Dalam Berita adalah sebuah tontonan ”wajib” disamping film2 kartun tentunya. Dan sebagai anak SD saya juga masih sering di PR-i untuk mencatat peristiwa apa saja yang sedang berlangsung dan diminta menuliskan ulang dengan bahasa tulis khas anak SD. Dan tentu saja susah minta ampun jika menerangkan salah satu topik berita, karena pembaca berita di TV punya kecepatan sendiri, maka jadilah berita ”Pengiriman pasukan Perdamaian” diganti dengan topik ”Banjir di Srilangka” atau ”Panen Kacang di Lampung” yang lebih padat dan singkat.

Kemudian dimulai era TV-TV swasta dimana tonggak kreativitas media mulai terpancang. Meski terbatas—karena saat itu belum reformasi—tetapi tetap kreatif dalam keterbatasannya. Sampai di jaman reformasi kreatifitas itu di eksplor dengan luarbiasa. Lalu kedatangan Internet yang fenomenal—thanks God pemerintah kita cukup demokratis dalam hal ini. Ya kedatangan internet mengubah banyak hal, termasuk cara kita memandang suatu informasi. Sekarang kita sudah tidak kampungan lagi (ciyeee), setidaknya ketika terjadi konflik antar negara atau kelompok, kita bisa mencari informasi dari berbagai sudut pandang. Sekaligus memahami motif-motif apa saja yang menggerakkannya.

Ketika media gambar diberi kebebasan maka kita mudah sekali menganalisa apa yang sedang terjadi. Dengan cepat kita mendapatkan penjelasan, gambaran, kengerian sekaligus kekhawatiran yang sedang bergejolak disana, sekaligus, implikasi dan counter measure jika sewaktu-waktu hal itu terjadi disini. Kita lalu terbiasa dengan berbagai berita-berita kriminal dari yang paling sadis sampai yang parah sekali—sampai kita megira-ngira mungkinkah manusia bisa melakukannya?.

Dan yang paling hot saat ini adalah ketika situs Wikileaks mengungkap lebih dari 250 ribu kawat, dokumen-dokumen penting yang tergolong sangat rahasia, hebatnya situs tersebut bisa diakses dengan mudah. Begitu banyak yang diungkap disana: konspirasi, manipulasi, benturan kepentingan, nuklir, kondisi ekonomi, piring terbang, pergantian kekuasaan, suksesi kepemimpinan, motif-motif yang diluar dugaan, semua tersaji penuh kerumitan. Sehingga saya sering bertanya apakah benar semuanya ini? benarkah informasi besar itu tersembunyi demikian rapinya, rencana-rencana yang terkontrol sehingga tak bisa di tangkap oleh penglihatan? Terlalu halus untuk dirasa dengan indera dan dicerna pikiran?. Benarkah ada yang seperti itu? Entahlah.

Sebagai rakyat jelata biasa, selain hanya sekedar tahu, saya tidak menemukan apapun lagi dari sana. Bila dokumen-dokumen itu benar adanya, lalu apa? Peristiwa yang sudah terjadi baru terungkap sekarang. Mau di apakan? Ekonomi dunia sudah masuk black hole, kekayaan alam negara RI kita dan lain-lainnya ..., lalu Afghanistan sudah hancur!, Pakistan lebur, Irak sudah rata!—perang saudara sudah keburu menewaskan banyak orang, virus-virus biologis sudah meminta ribuan nyawa. Semua data biometrik para diplomat sudah diketahui, semua motif sudah jelas. Lalu mau apa lagi?

Dalam pikiran saya yang awam ini, jika dunia benar-benar penuh dengan konspirasi jahat, apakah mereka juga terkena hukum yang satu itu?

Juga hukum-hukum lain yang manusiawi sifatnya dan fana bawaannya. Hukum sederhana yang sebetulnya tidak sederhana, hukum pilihan, ketetapan, keseimbangan. Lalu benarkah semua rencana jahat itu berhasil? Pengerukan kekayaan alam milik orang lain? Penghancuran-penghancuran itu? Berapa persenkah yang berhasil? benarkah misi mereka saat ini sukses?

Sementara para konspirator sibuk dengan rencana-rencana selanjutnya, Wikileaks membuat banyak orang makin kuat menduga-duga. Bahwa di setiap tindakan: kunjungan, paket bantuan, hibah, apapun selalu diiringi imbalan dan ancaman. Ketika semua data-data dibuka, ketika semua informasi ini di beberkan ke permukaan diam-diam maupun terang-terangan warga dunia bersatu melawan dominasi konspirasi yang manipulatif ini. lihat saja dukungan kepada Wikileaks yang tiap detiknya semakin menguat. Setidaknya 4000 peretas (Kompas) bersatu untuk membela Wikileaks. Data-data yang di blokir, di ekstrasi ulang dan di sebarkan melalui ratusan situs lain, mereka seakan hendak mengatakan bahwa kebenaran apapun tidak seharusnya mengandung unsur manipulatif! Dunia perlu tahu!.

Lalu ini soal apa, kenapa semua fakta ini terungkap?. Apakah maksudnya? Jika benar poin apa yang harus digaris bawahi?. Manusianya kah?

Dalam dunia dimana pengelompokan "kami" dan "mereka" sangat jelas, apa yang di beberkan Wikileaks sungguh mengejutkan. Bagaimana para pemimpin negara bisa mengambil banyak wajah, banyak warna dan halus tersembunyi. topeng A saat menghadapi yang ini dan mengambil topeng B saat menghadapi yang itu. Maka ketika semua terungkap kita melihat bahwa apa yang mereka pertontonkan selama ini tidaklah selalu wajahnya yang asli!.

Jika apa yang tengah dipertontonkan hanyalah sebuah pertunjukan topeng maka apakah setiap tindakan, keputusan--apapun, belum tentu seperti itu juga? selalu ada maksud di balik maksud!

Dan pelajaran yang bisa diambil dari sana adalah, tindak-tanduk pemimpinnya- manusianya. Jika saja dari awal sudah jujur, amanah,...,..., sudah dimiliki setiap orang, termasuk pemimpin dimanapun, maka mereka-mereka yang berkepentingan seharusnya tidak usah takut.

Saya yakin dunia akhirnya akan disatukan oleh satu, yaitu perhatian kepada manusianya. Apakah banyaknya suku-suku, ras, bangsa-bangsa di dunia dengan berbagai tingkatan hidup, kaya miskin dsb —perbedaan kondisi manusianya, apakah mereka mau tulus hidup bersama? Menjadikan dunia ini tempat tinggal yang nyaman, tanpa manipulasi, dominasi, hegemoni, penjajahan dalam berbagai bentuknya.

Yah memang sulit mengharapkan hal-hal semacam itu dari orang lain, tetapi kita bisa mulai membiasakan keempat sifat itu, dari...

Salam hangat!

foto dari National Geographic

Kamis, 04 November 2010

API



Tinggi menjulang, berwibawa dan berbahaya.
Itulah kesan pertama saya tentang Merapi, belasan tahun yang lalu. Dulu semasa masih kecil, disaat liburan sekolah saya pernah ikut paman saya mencari rumput untuk makanan sapi. Dari ketinggian yang sama, paman menunjuk ke arah Merapi, saat itu asap mengepul dari puncaknya.

Saya baru tahu bahwa Merapi diupacarai setiap tahun. Seorang lelaki tua Mbah Maridjan namanya, setia dengan tugas itu. Sebuah tugas sangat berat dari Raja Jawa kesembilan untuk bisa membaca tentang karakter Merapi yang tersurat, serta membaca udara yang tersirat darinya—demikian tugas juru kunci, mewajibkannya untuk mengenali sedari awal jika sang Merapi akan ”hajatan”.

Awalnya tidak ”ngeh” dengan sosok lelaki itu. Apalagi setelah membintangi iklan dan muncul di tv, pikiran saya mengatakan bahwa dia sama saja: uang dan popularitas! Apalagi ??! –belakangan saya baru tahu, ternyata simbah dibujuk sedemikian rupa, dan uang honornya digunakan untuk membantu tetangga-tetangganya. Kualitas lain yang luput dari berita!- (maaf ya mbah)

Lalu pandangan itupun dengan sendirinya berubah, setelah mencari tahu sana-sini akhirnya saya mandapatkan gambaran "hampir" utuh darinya.

Salah satu perbuatan yang paling sia-sia didunia adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Dan jatuh cinta tidak mensyaratkan apapun, datang kepada siapa saja, kepada apa saja. Termasuk jika seseorang mencintai Merapi yang notabene adalah sebuah gunung api aktif!.

Bagi saya, Merapi ”hanya” sebuah gunung api. Ia telah ada disana, ratusan ribu tahun jauh sebelum eksistensi raja-raja manapun. Ia bisa ngamuk kapan saja, gulungan awan panas bisa turun kapan pun tanpa harus memberi tahu sebelumnya. Tetapi tidak sesederhana itu bagi seorang Mbah Maridjan.

Dalam dunia yang saya yakini, segala sesuatu yang kelihatan adalah ibarat gunung es yang terapung-apung di tengah samudera. Kita bisa mengira-ngira sekaligus mengukur gunung es itu: seberapa tinggi, lebar, panjang dan luasnya. Tetapi kita tidak pernah bisa memprediksi sebesar apa bagian gunung es itu yang tak kelihatan dibawah sana.

Dalam kasus mbah Maridjan, sementara saya melihat gunung itu benda mati, mbah Maridjan melihatnya sebagai orang tua berwibawa dengan segala prilakunya. Saya melihatnya musyrik, simbah bergaul dengan asyik. Ketika saya melihat bahaya, simbah hanya melihat cahaya. Saat saya melihat sia-sia, simbah telah melihatnya sempurna!. Jadi ini sebenarnya soal apa?.

Dalam dunia yang penuh kejutan seperti itu, hidup menjadi sawang sinawang. Saling memandang yang kelihatan, semua berkaca-kaca. Salah pandang akan salah paham. Kita cenderung menyalahkan kacamata orang lain tanpa mengecek buram atau tidak jendela sendiri. (bukankah hanya Tuhan yang berhak mengecek seseorang itu musyrik atau tidak?)

Cinta. Ya tentu saja. Tidak ada yang lebih kuat dari itu, dan tak ada yang menyalahkannya. Merapi adalah hidupnya, puluhan tahun sudah bersamanya, susah- senang, kesetiaan. Merasakan kedamaian saat sang Merapi tenang, kesuburan tanahnya, keindahan alamnya. Siapa rela melepasnya? Jika kini Merapi mengatakan sudah saatnya, maka simbah tak kuasa menolaknya. Saatnya datang mangsa lara, akankah dia menolak masa susah setelah puluhan tahun menikmati kegembiraan? Tidak! Simbah akan menemaninya, mungkin karena itulah dia tidak mau turun menyelamatkan diri. Kedengaran gila? Tentu saja!.

Dari kecintaan seseorang yang ”tergila-gila” kepada gunung api, apakah kita bisa belajar sesuatu??. Hmm, saya membayangkan bagaimana jika seorang pemimpin ”jatuh cinta” seperti itu kepada rakyatnya/umatnya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, rakyat adalah sebuah centre of life, pusat hidup!. Susah-senang bersama, tetap setia dan tidak meninggalkan mereka. Saat datang masa-masa susah dia ada untuk mereka, menghadapi bencana alam dan bencana moral bersama-sama, sampai suatu saat nanti kematian datang dan turut menyempurnakannya! Ah!

Adakah pemimpin yang berani segila itu dizaman sekarang?? Adakah? Mungkinkah?? Bisa jadi ada, bisa juga tidak. Jika pun ada, mudah-mudahan cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, sebab kekuatan perubahan sedahsyat itu datang jika keduanya memiliki kadar cinta yang sama. Energi yang sama.

Pemimpin gila. Ah, kita hanya bisa merumuskannya saja, diam-diam kita telah tahu ramuan apa saja yang membuat seorang pemimpin sedemikian sempurna. Pemimpin dengan watak api! Membakar segala kebodohan, menghanguskan tamak, menghancurkan ikatan-ikatan sulit dimana keadilan susah berkembang. Dialah itu yang bercahaya terang, menerangi setiap jalan dan menuntun kepada kekuatan. Namun murka hebat bila kedzaliman sudah sedemikian parah. Adakah? Dimana?

Kita selalu mencarinya. Meramalkan kedatangannya dan berdoa agar kelak dipimpin orang seperti itu. Dimana keberadaanya, kita tidak pernah tahu, Wallahuallam.

Tetapi jikapun kita tidak menemukannya sekarang, maukah kita jadi orang itu? pemimpin itu, yang ”gila”, nggilani, dan tergila-gila minimal dalam lingkup terkecil? Memimpin diri, meski dilingkungan sendiri?? :)

Salam hangat, selamat menyumbang dan tetaplah optimis.

Turut berduka cita atas meletusnya Merapi, tsunami Mentawai, banjir Wassior. Sedikit atau banyak sumbangan adalah energi.

foto dari National Geographic

Sabtu, 18 September 2010

Pranata Mangsa



Akhir tahun lalu saya sengaja menghabiskan satu minggu di kawasan pegunungan di Jawa Tengah. Sebelumnya sudah niat mau bakpakeran sendiri ke Dieng, melihat kawah dan kebun apel, membuktikan sendiri apakah benar hampir semua orang Dieng memiliki pipi yang merah?. Tetapi karena satu dan lain hal rencana itu berubah. Saya putuskan kesana saja, ke tempat leluhur saya.

Ingatan ingatan masa kecil saya tumpah ketika melewati jalanan setapak. Saya pernah melewati jalan ini. Batu-batu besar, pohon-pohon tua, aroma rumput, perdu, kotoran sapi, bunga-bunga mangga dan semak seketika menjadi harum. Dan saya seperti anak kecil di toko permen yang sedang kegirangan, dada ini seperti melonjak-lonjak. Yaa jejeran pegunungan Semilir mungkin asing, tetapi saya masih bisa mengingatnya dengan jelas. Satu hal yang menjadi ingatan favorit saya di tempat ini adalah, pada saat almarhum kakek saya mengambilkan buah-buah kelapa muda, dengan golok dipinggang, tanpa alas kaki dan kedua tangannya dipenuhi banyak buah kelapa muda, kepalanya menunjuk kami -cucu-cucunya- dan dagunya mengisyaratkan ada sesuatu di tangannya. Dan kami pun berlarian, berebut buah kelapa dengan gembira, ah.

Gunung itu ramai ditanami jati. Jalan setapak yang saya lalui sungguh unik karena sementara kita melihat batu-batu cadas yang besar di sebelah kiri, disebelah kanan menganga jurang-jurang yang sangat dalam.

Saya menggunakan ponsel seminim mungkin. Selain karena sinyalnya mengerikan, saya juga ingin memperhatikan sejelas mungkin kehidupan disini. Angin. Ya, betapa luarbiasa kekuatan angin didaerah sini, mungkin itulah sebabnya dinamakan Semilir, merujuk pada sifat gerak angin. Angin, hijau dan damai. Seperti memasuki daerah yang senyap. Kawasan ini seperti berada di sebuah kluster yang terjaga oleh angin. Pagi, siang, malam angin tak henti-hentinya berhembus kencang. Jika hujan turun maka kekuatannya bertambah-tambah. Mengerikan memang. Entah ada kekuatan apa yang ada di sana, tetapi pertama kali menghirup aroma gunung itu saja semua sudah ”lain”.

Disini semua berjalan sangat lambat tetapi bisa juga terasa sangat cepat. Sepertinya waktu memang tergantung dari setelan manusianya, ia bisa di buat sangat lambat atau cepat. Dan akibatnya saya ikut dalam kelambatan itu. Mulai dari bernapas saja, saya belajar menarik napas panjang dan menghembus pelan-pelan, hanya dengan begitu saya bisa menghemat tenaga sekaligus meng-generate-tenaga baru selain tentunya beristirahat secara periodik karena jarak, darimana hendak kemana memang sangat jauh. Maka hanya dengan mengatur napas dan memperhitungkan langkah saja, kita bisa selamat sampai ditujuan dengan berjalan kaki.

Mungkin beginilah sifatnya bila suatu tempat didominasi oleh angin. Lama-kelamaan gesekan daun, pohon-pohon bambu dan lonceng-lonceng di leher sapi semuanya seperti bernyanyi. Nyanyiannya juga dari jenis yang juga lambat. Apakah ”lambat” juga punya arti? Apakah saat waktu serasa panjang juga memberi tanda akan sesuatu?.

Jika melihat bagaimana orang-orang desa yang kebanyakan menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam, saya sering kosong. Dalam artian setiap hari, dari hari ke hari yang saya lihat di sawah itu adalah padi yang selalu saja hijau. Ah betapa lamanya mereka matang, kenapa tidak menggunakan teknologi saja yang memungkinkan padi lebih cepat panen. Dan dapat ditanam lagi.

Tetapi ternyata tidak seperti itu, bagi orang-orang jawa yang masih menggunakan kalender Pranata Mangsa atau kalender jawa purba –apalagi untuk urusan bercocok tanam-, semuanya sudah dihitung dengan cermat. Dan kenapa beberapa petani emoh menggunakan teknologi sekarang adalah karena kebanyakan masih mengikuti kearifan masa lalu. Tidak terburu-buru ingin panen, tidak pesimis melihat padi yang dari hari-ke hari masih saja hijau, kapan mereka matang, kapan tumbuh dewasa, kapan?.
Bagi mereka melambat adalah sama dengan menghargai pendirian alam. Ya, belajar untuk tidak juga terburu-buru menjatuhkan vonis karena hanya satu kemungkinan bahwa apapun yang sedang terjadi saat ini adalah, bahwa padi itu sekarang sedang melalui proses. Sehingga tak harus menyalahkan waktu, menyalahkan musim, dalam penerapan lebih jauh adalah tidak menyalahkan pendirian, karena selama masih hidup ukurannya hanya satu: siapa yang tahu bahwa ia masih berproses.

Ada hal-hal lain tentang melakukan segala sesuatu dengan melambat ini yaitu menikmati waktu saat ini. Terdengar kontradiktif memang. Tetapi kenyataannya, ada saat-saat kita harus melakukannya. Agak susah menerapkannya, bagi saya yang sudah terbiasa ”menargetkan sesuatu” solah-olah ”hasil” dan ”waktu” bisa disetel sesuai perut. Awalnya menjengkelkan, mengunyah makanan empat puluh kali kunyah, baru sepuluh sudah tertelan!. Merasai dinginnya air minum dengan cara meneguknya pelan-pelan sehingga lidah paham betul dengan hawa, memperhatikan ujung hidung kapan saya bernapas, apakah saya bernapas pelan apakah cepat.

Lalu apa kata nenek saya dengan kegiatan ngerasanin ini ? agar kita bisa memaknai mangsa/waktu. Dari sana kita eling dengan laku. Mulai dari hal sesepele membuang sampah, berjalan, tidur, membaca, mencuci, berjemur, sampai tepekur di mushola dekat rumah. Kegiatan apapun yang kita lakukan adalah hal yang kita ”sadari”, sehingga apapun, kegiatan apapun itu bisa kita maknai.

”Mangsa Kapitu, wisa ketir ing maruto, mangsa ini harusnya banyak hujan, banyak sungai banjir. Seharusnya saat inilah memindahkan bibit padi ke sawah. Tetapi sekarang sepertinya musim-musim sudah berubah. Yang bila di perhitungkan musim hujan malah tak ada hujan. Atau malah hujan besar di musim yang seharusnya kemarau.”

”Posisi petani sekarang serba sulit, karena seolah ditinggalkan oleh alam. Alam seperti sedang mengetes. Maunya manusia selalu serba cepat, cepat-cepat panen. Padahal wajarnya tanam padi itu setahun sekali, selebihnya bertanam palawija agar hara tanah tidak rusak. Musim-musim yang tidak menentu sekarang ini mungkin hendak menunjukan bahwa manusia harus selalu eling lan waspada. Toh bagaimana pun manusia itu juga sebuah proses yang harusnya tidak jumawa dan mengambil jalan cepat-cepat.”

”Eling lan waspada ini mengingatkan bahwa manusia harus terus belajar, belajar jadi manusia itu sendiri. Supaya menjalani hidup ke tingkatan yang baik, sekarang, saat ini, disini” tutupnya.

Lambat tidak selalu identik dengan malas, sebetulnya. Tetapi selalu bersikap mengambil jarak terhadap sesuatu. Sikap ngerasanin ini lebih ke arah menikmati momen demi momen yang selalu berubah, sekaligus menghargainya. Melihat kenyataan yang ada sekarang sebagaimana adanya. Hujan ya hujan, kemarau ya kemarau. Menerima keduanya sebagai sebuah ketentuan yang selalu berubah-ubah. Menolak musim kemarau dan hanya menerima musim hujan saja, lalu kapan mulai menanam dan kapan panen?, sebab proses ”menjadi” padi memerlukan lebih dari sekedar pergantian musim-musim. Padi yang matang secara alami menghasilkan butiran beras dengan kualitas terbaik dan rasa yang enak. Betul tidak?.

Ternyata sawah yang saya lihat tidak sesederhana seperti kelihatannya. Banyak kisah didalam kisah, banyak cerita, mitos dan upacara dan tentu saja: pranata mangsa. Waspa kumembeng jeroning kalbu (air mata menggenang dalam kalbu), pancuran mas sumawur ing jagad (pancuran emas menyinari dunia), anjrah jeroning kayon (keluarnya isi hati).

Wah benarkah petakan-petakan sawah yang sering saya lihat ternyata mengandung kearifan dan kebijaksanaan yang tinggi di masa lalu ?? dan siapkah melambat barang sebentar agar tahu makna kegiatan kita selama ini ??

Hmm rasanya tak salah mencobanya!


Pranata mangsa selengkapnya di wikipedia

Foto dari National Geographic

Selasa, 17 Agustus 2010

SOKA



Entah ada gunanya atau tidak, saya menceritakan ini. Tetapi saya berharap sedikit banyak memiliki manfaat. Cerita ini saya dapat dari tangan pertama. Cerita teman saya, Soka, sebut saja demikian. Dan saya mendapat ijin dari dia untuk menuliskannya.

Puasa ini mungkin puasa yang paling berkesan buatnya. Bukan karena dapat bonus besar, bukan karena tender besar yang dimenangkannya minggu lalu, tetapi kemenangan lain yang membuatnya merasa sangat bermanfaat sebagai manusia.

Siang itu dia sedang membereskan beberapa file kerjanya, dan tak sabar bercerita:
”Saya sedang bepergian, untuk suatu urusan. Bis saat itu tidak terlalu penuh, demi kenyamanan dan pemandangan, saya memilih duduk didepan. Teman duduk sebelah saya adalah seorang bapak yang tidak terlalu tua. Berbaju kemeja putih tipis dengan motif kartun, celana jean hitam dan sandal jepit hijau yang jelek. Mukanya tirus, gerakannya kikuk.”
”Saya menawarinya koran baru, bapak itu tersenyum saja. Saya bertanya basa-basi dari mana hendak kemana. Dia dari Aceh dan hendak menemui keluarganya di kota X. Suaranya kurang jelas terdengar, jadi saya hanya membaca gerak bibir dan mimik mukanya. Tidak banyak yang saya dapat karena bapak itu bercerita dengan gelisah, sepertinya sedang stress, dan selanjutnya saya lebih memilih mendengarkan mp3 saja dari pada ngobrol tidak jelas. Ketika membuka HP, bapak itu mengeluarkan secarik kertas bekas sobekan bungkus rokok dari sakunya, dan menunjuk ke sebuah nomor selular. "Tolong sms kan anak saya, saya tidak bisa pulang. Terima kasih ya!.”

”Kau tahu! setelah di sms itu anaknya bapak itu mengirim balasan, meminta lokasi kami sekarang, aku mulai kesal. Mana anaknya nelpon beberapa kali dan selama beberapa kali itu pula bapak itu menolak menerima telpon itu, saya benar-benar kesal dengan keduanya. Saya cuma penumpang yang kebetulan duduk bersebelahan dengannya, aku ingin duduk tenang dan tak harus terlibat urusan keluarga orang lain. Aku tidak menggubrisnya. Aku hampir marah sekali”
” Tetapi sms yang terakhir ini membuat aku luluh, anaknya bercerita bahwa bapak itu sudah lama sekali meninggalkan rumah. Keluarganya khawatir dan sedang menangis saat itu. Dalam kepala saya yang penuh itung-itungan tentang berapa banyak sms dan pulsa yang terbuang untuk orang yang tidak aku kenal!, dan waktuku yang seharusnya bisa kugunakan untuk istirahat!. Dan tiba-tiba menyesal kenapa harus duduk di depan!. Tetapi lama-kelamaan hati ku tidak tega. Bapak itu harusnya bersama dengan keluarganya, setidaknya dia tidak berkeliaran di jalan. Akhirnya aku sms balik anak bapak itu, bahwa aku bersedia membantu semampuku. Anak itu mengucapkan terima kasih dan mengatakan semoga Allah membalas kebaikanku. Aku tidak memperdulikan sms semacam itu. Aku ragu dengan situasi seperti ini, benarkah ini ? . Aku tidak mengenal mereka, aku tidak harus terlibat atau melibatkan diri, dalam pikiranku yang itung-itungan itupun sempat berpikir bagaimana kalau ini model penipuan terbaru. Atau yang terburuk bapak ini masuk DPO organisasi tertentu dan mungkin saja jadi korban atau pelaku perbuatan yang buruk. Pikiranku tidak bisa diam saat itu, tetapi aku putuskan, bila memang betul apa yang dikatakan lewat sms itu, itu akan membuatku tenang tetapi bila tidak maka saya sudah siap lapor polisi.”

”Sepanjang jalan, bapak itu memperhatikan ku terus. Dia sudah bilang jangan membalas telpon atau sms dari anaknya. Saya bikin silent HP itu dan tetap berhubungan melalui sms- tanpa sepengetahuannya-. Anak itu akan menjemputnya di stasiun segera setelah bis kami sampai. Dan aku terus memberitahukan mereka lokasi kami. Di sepanjang jalan tol pikiranku berbicara sendiri. Tuhan, aku ini orang yang naif. Aku sering menyesal bahwa itu sering kali dimanfaatkan. Dan aku sedang berusaha untuk tidak terlalu peduli sekarang. Bahkan apa yang aku pikir, kebaikan dalam kenyataannya datang dalam bentuknya yang paling buruk. Tuhan benarkah bapak ini sedang stress berat dan kabur dari rumahnya? Sebuah suara naif segera terdengar, ”dia duduk disebelahmu bukan kebetulan, duduk disebelahmu- karena dengan begitu dia mendapatkan solusi atas masalahnya”. Aku mencibir suara naif itu, aku mengejeknya. Tidak mungkin! Ini cuma drama! Kenyataan tidak selalu seperti itu. Jadi diamlah.”

”Kau bisa membantunya, sampai yakin dia berada bersama keluarganya atau kau bisa segera turun dan melupakan bapak itu!.”

”Aku tahu aku harus memutuskan sesuatu. Akhirnya aku memutuskan untuk melihat siapa yang menjemputnya. Bila wajahnya meyakinkan aku akan serahkan bapak itu, tetapi bila tidak aku akan lapor polisi secepatnya.mudah-mudahan kali ini intuisiku benar”
”Jam demi jam berlalu, aku sungguh tidak tidur. Aku terus mengawasi gerak-gerik bapak ini, karena di setiap pemberhentian dia selalu ingin turun, matanya selalu tertuju ke arah pintu. Selain itu karena dia juga mengoceh terus tak karuan. Dan setiap bergerak itu aku memperhatikannya, tanganku akan siap mencegahnya bila dia nekad turun sembarangan. Akhirnya kami sampai juga di kota tujuan. Bis berhenti dilampu merah. Kami sudah sampai Tol, segera aku kirim sms untuk segera menyusulnya. Tidak ada tanda-tanda penjemputan, pikiranku mulai berbicara lagi, bahwa aku terlalu naif untuk percaya kepada seseorang meskipun mungkin dia membutuhkan bantuanku, aku mulai menyesal kenapa selalu dipermainkan keadaan. Aku pasrah saja dan bersiap-siap turun. Beberapa menit kemudian sebuah motor bebek mengikuti kami dan tiba-tiba berhenti tepat di pintu bis. Seorang perempuan muda melambaikan tangan dan berteriak-teriak dari luar "Itu bapak saya! Itu bapak saya.. pak! Pak! Ini Yeni, Yeni pak!". Wajah perempuan itu tampak khawatir, saat itu saya yakin dia pastilah keluarganya. Kondektur bis berbicara sebentar dan membuka kan pintu sementara bapak itu tampak bingung. Perempuan itu mencium tangannya, keduanya tampak bahagia, -meski raut bingung bapaknya tidak hilang-. Perempuan itu lalu menaikan bapak nya ke motor bebek dan langsung melaju. Aku sangat lega, juga haru. Benarkah ini?.

Aku terdiam. Untuk sesaat pikiranku berhenti sementara suara itu terdengar lagi. ”Itu berkat kau! Kau boleh sinis tetapi kau tahu, kau berperan mempertemukan ayah-anak itu” Suara sialan itu tertawa kencang sekali sampai-sampai aku mual. Beberapa hari bila aku merenungkan kejadian itu aku menemukan ketentraman didalamnya, apakah aku yang membantu bapak itu atau ??.”

” Untuk pertama kalinya aku pun merasa bahagia yang utuh, aku berhasil membuktikan bahwa aku menolong orang lain dengan tuntas. Tidak setengah-setengah seperti yang biasa kulakukan selama ini, aku merasa percaya diriku meningkat sekarang”. Katanya berapi-api menutup ceritanya.

”Kita bisa menjadi penentu kebahagiaan orang lain atau sumber kesedihan disaat yang sama” katanya lagi.

”Menurutmu bagaimana?”

Jumat, 30 Juli 2010

Setelah Puncak Tertinggi



Betapa misteriusnya manusia.
Di utara, orang-orang sedang berkerumun merumuskan undang-undang. Di selatan, sekelompok manusia lain tengah berjuang sekuat tenaga agar suara mereka didengarkan oleh pemimpin mereka. Di sebelah barat, lain lagi; sekelompok orang sibuk menghalau pengaruh buruk informasi. Di belahan timur, lebih berat; orang-orang fokus pada ledakan demi ledakan yang berasal dari dapur rumah mereka sendiri.

Semua peristiwa terjadi hampir pada waktu yang bersamaan. Satu peristiwa, tidak kalah mendesak dari peristiwa lain. Setiap ledakan disusul dengan ledakan lain. Masalah seolah datang dengan tidak mengenal kata istirahat. Dan tentu saja, semua menuntut untuk segera diselesaikan. Ketika semua itu terjadi, saya memutuskan merekam semuanya dengan bahasa tulis versi saya.

Pada masa jaya nya, demokrasi di elu-elu kan sebagai sistem terbaik bagi sebuah negara, kedigjayaan sistem demokrasi hanya mampu ditandingi oleh sistem komunis. Persaingan ketat kedua sistem ini yang berdarah-darah dan memasuki babak baru jaman manusia-dari kemajuan iptek- perlombaan senjata-penghapusan perbudakan-kesetaraan, ternyata tidak mudah, berbiaya paling mahal, semua perlombaan itu akhirnya dimenangkan oleh sistem demokrasi. Sistem ini diklaim mampu memperkuat pemerintahan, bahkan kerjasama antar negara akan lebih mudah jika memiliki kesamaan idiologi. Betapa hebatnya sistem ini-meski bukan yang terbaik-tetapi cukup ampuh untuk meredam gejolak, dan sedikit banyak memuaskan berbagai pihak, dimana khususnya negara kita yang berlandaskan asas musyawarah dan mufakat, menjadi landasan yang –sepertinya sih- masuk akal.

Akan tetapi sehebat apapun sistem yang dianut, sistem hanyalah alat. Pada perkembangannya, benturan kepentingan membuat sistem sebaik apapun hancur berantakan. Setiap alat mempunyai kelemahan. Sistem pun demikian. Kebanyakan bukan dari undang undangnya, melainkan pada kelicikan dari para pemegang amanahnya. Setiap detil kelemahan adalah kesempatan. Dan disetiap kesempatan ada nilai uang yang tidak sedikit. Jadi urusan selanjutnya bukan bagaimana menutup celah, tetapi mencari celah yang lain, dan jika memungkinkan membuat celah kecil itu berubah menjadi sebuah mulut gua yang menganga.

Disini demokrasi diuji. Sebagai pemenang yang memenangi pertandingan besar dia tidak boleh mengambil jalan mudah dengan membiarkan dirinya dijadikan mesin. Digerakan oleh tangan-tangan yang haus dengan uang, untuk kemudian menghasilkan uang lagi dengan cara-cara membodohi masyarakat. Karena sementara dia duduk dan beristirahat, rakyat dibuat bingung dengan hari-hari mereka ke depan.

Sistem yang dianut oleh sebuah negara tergantung dari pemimpinnya. Jadi semua urusan-urusan ini akan dikembalikan lagi ke sumbernya, ke manusia yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi.

Pada awalnya, pusat segala kekuatan seorang pemimpin berasal dari dalam dirinya. Semua diawali dari kemauan menengok terlebih dahulu kedalam dirinya. Menengok kedalam diri mensyaratkan seseorang untuk terlebih dahulu mencukupkan "segala" pengetahuannya -ilmunya- sebab dengan begitu dia akan mempunyai alat yang tajam dalam membedah setiap persoalan-persoalan yang terjadi didalam masyarakat. Dibutuhkan ketekunan, kesabaran dan bimbingan untuk urusan bedah membedah ini (disinilah calon pemimpin harus mau berbaur dengan berbagai macam kalangan, mengetahui dari segala sudut pandang dalam rangka mengasah kejernihan daya analitisnya) alih-alih mengalami kebuntuan, kemampuan membedah kasus ini malah akan memperkaya setiap detil pengetahuannya.

Tak ada kata cukup dalam menuntut ilmu. Tetapi manakala waktunya telah tiba, tatkala syarat-syarat keilmuannya mencukupi maka calon pemimpin akan dapat memantapkan segala tekad yang ada dihatinya, hebatnya lagi, bersamaan dengan kemantapan itu dia akan diberi kemampuan untuk meluruskan hatinya.

Lalu apa yang akan terjadi jika calon pemimpin sudah mampu meluruskan hati?. Dia akan meneliti dirinya sekali lagi untuk membereskan hal terpenting dari keseluruhan proses ini yaitu; melakukan pembinaan kepada dirinya sendiri, sehingga dapat membereskan keluarganya. Lalu apa lagi. -Keluar terus meluas- membereskan lingkungan terdekatnya, akhirnya diberi kemampuan mengurus yang lebih luas lagi, rakyatnya, negara nya. Dan akhirnya memberikan ketenteraman bagi dunia. Pada dasarnya setiap orang adalah pemimpin, dengan demikian maka tugas utama pemimpin dan rakyat akan mengerucut pada satu kewajiban yang sama; mengutamakan pembinaan terhadap diri sendiri terlebih dahulu.

Dititik ini pemimpin dan yang dipimpin saling memberikan masukan yang tepat bagi kemajuan bersama, disana pemimpin melayani segala kebutuhan rakyatnya, sementara dipihak rakyat, mereka akan mencintai pemimpinnya, dan dengan segenap kekuatan melindungi keberlangsungan jalannya pemerintahan. terlalu ideal ? mungkin! tetapi harus dicoba.

”Barang siapa diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah dia mulai mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya dia mendidik dirinya dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lidahnya. Orang yang menjadi pendidik dirinya sendiri lebih patut dihormati daripada yang mengajari orang lain” ~Imam Ali

Hmmm, anda tertarik? Selamat menjadi pemimpin yang dicintai!

disadur bebas dari kitab "'Ajaran Besar" karya Konfusius. Photo dari National Geograpic

Kamis, 08 Juli 2010

Misi Hidup




"Kalau di dalam dirinya sudah tersembunyi penyakit rendah diri, dia makin terbebani dari suatu misi hidup. Kalau diagregatkan kalau setiap orang punya rasa rendah diri, sebagai bangsa Indonesia maka ia akan menjadi penyakit nasional," Sri Mulyani.

Makin jauh dari rasa aman. Itulah gambaran yang bisa di tangkap hari-hari terakhir ini. Jangankan orang biasa, seorang pejabat negara pun bisa digusur. Jangankan memikirkan keselamatan bangsa dan negara (yang terlalu jauh), memikirkan keselamatan diri sendiri pun masih ragu. Benarkah rasa aman itu sudah hilang di masa sekarang ini?.

Ada yang bilang rasa aman yang sebenarnya diperoleh sesaat setelah melewati bahaya, kenapa, karena saat itu kesadaran kita masih tajam dan siap dengan segala kemungkinan. Ada juga yang bilang bahwa rasa aman hanya didapat dari berlindung kepada kekuatan yang jauh lebih besar dari diri kita,-siapa lagi-, Tuhan.

Tetapi kita tidak akan membicarakan rasa aman itu sekarang, tapi ke pernyataan "Misi Hidup" yang di kutip diatas.

Jika berkaca pada kehidupan orang-orang besar, saya suka minder. Terus terang saya punya banyak mimpi. Ada yang sudah di wujudkan tetapi masih banyak sekali yang belum. Ada yang sedang di usahakan, ada yang harus pending ada yang bahkan dibatalkan sama sekali. Saya sering bertanya pada diri sendiri, apakah yang menyebabkan orang-orang ini menjadi besar? benarkah kecerdasannya harus sekian? benarkah mereka harus didukung finansial yang tak terbatas?. Sepi tak ada jawaban.

Nah terbukti kan, kalo saya nulis sekadar nulis, latihan menulis supaya enak dibaca. Pelaksanaanya?. Au ah. Apakah saya punya kekuatan yang dalam untuk memenuhi panggilan hidup?, Apakah saya punya semangat tak terpatahkan?, Apakah saya punya fokus yang luarbiasa untuk mewujudkannya? tapi yaa jangan kan itu, yang paling dasar saja: Apakah misi hidup saya?. Sepi lagi. hehe

Misi hidup. Hmm ada yang bilang misi hidup kita harus ditentukan sedini mungkin. Sebab dengan begitu kita bisa merencanakan dan membuat mapping, dari mana dan akan kemana, lalu tujuan akhirnya akan seperti apa. Ada yang bilang misi hidup itu harus ditemukan, sebab hanya mereka-mereka yang telah mengenali sepak terjang sang diri yang akan mampu mengenalinya. Tetapi saya lebih suka jika misi hidup itulah yang akan menemukan kita. Kenapa, karena (...) sepi lagi.

Sambil berjalan dengan waktu, saya pikir misi hidup setiap orang akan berubah. Tentu saja saya sangat hormat dengan mereka yang punya keteguhan sekeras kristal, buat saya memang itu yang dibutuhkan mewujudkan sesuatu, tetapi saya lebih suka meniru sifat lentur bambu, boleh kan?. Ya bambu. Mampu melenting, mengikuti arah angin, dan berbisik-bisik saat angin begitu keras. Liat, lentur dan berhasil tumbuh. Ah, Semoga bisa seperti bambu.

Kagum dengan orang-orang jaman ini. Memang benar teori-teori keseimbangan itu berlaku tidak hanya dalam eksak tetapi juga pada diri manusia-manusianya. Saya percaya tidak ada orang yang jahat, yang ada hanyalah orang baik yang saking hausnya maka air comberan pun akan diminum, saking laparnya maka.., tetapi yaa itu di satu sisi. Sementara disisi lain ada pula orang-orang yang meski haus tidak sampai meminum air comberan, tapi memilih air hujan saja yang aman. Nah orang-orang ini yang bersuara lantang bahwa air hujan lebih baik dari pada air comberan-curian pula-. pusing yah?. Yaa tulisan ini memang untuk anda yang IQ nya diatas 1000. Hehe

Orang dengan misi hidup yang besar menanggung resiko yang lebih besar. Betapa mahal harga yang harus dibayar, betapa sangat tidak nyamannya hidup yang dilalui, dan betapa berat perjuangan mereka. Tetapi apakah artinya kenyamanan bila bertentangan dengan hati nurani, dan apakah artinya hidup itu bila tidak bebas menjadi dirinya sendiri. Banyak orang mengambil titik temu antara hidup yang ada sekarang untuk kemudian menyelaraskan diri dengan misi hidupnya. Dan tentu saja dengan segala resikonya.

Bagi jiwa yang mulia, apalah artinya hidup bila terus menerus berada dalam ketakutan. Menyadari kesalahan dari cara hidup seperti itu, maka sebagian orang akan berusaha melewati ketakutan dengan menciptakan tatanan dirinya dan orang lain dalam kesepadanan, tanpa rasa takut!.

Begitu banyak yang berorientasi pada hasil tetapi lupa pada prosesnya. Sementara proses itu sendiri lebih mahal dari hasil, proses itu gambaran utuh. Sebab ada pergulatan disana, ada pemikiran, pertimbangan dan tak kurang kebijaksanaan yang saling menjalin.

Dalam kepemimpinan urusan misi hidup ini sangat-sangat vital. pemimpin dengan misi hidup yang jelas akan membuat siapapun yang dipimpinnya merasa terarah, bersemangat dan lebih jauh bisa melihat masa depan melalui mata pemimpin mereka. Sebaliknya jika seorang pemimpin kehilangan powernya maka yang ada adalah kebingungan, jangankan masa depan, membawa dirinya sendiri saja diragukan.

Mau tidak mau misi hidup ini memang harus ada dan dimiliki oleh setiap orang. Setiap tindakan yang mengarah kepada misi akan memengaruhi mental juang kita, setiap goal yang dicapai memberikan kepuasan sehingga kita merasa menikmati apa yang sedang dilakukan. Bahkan lebih jauh, tindakan ini membuat kita tetap berada dalam jalur yang benar.

"As for the best leaders, the people do not notice their existence.
The next best, the people honour and praise.
The next, the people fear, And the next the people hate.
When the best leader’s work is done, The people say, ‘we did it ourselves’".
~Lao Tze

Sudah dapat gambaran misi hidup anda ?!

Salam Hangat

Sabtu, 19 Juni 2010

Terima Kasih


Selamat Malam temans-temans. Assalamualaikum Wr.wb.

Wow tembus 2200 pembaca.

Ini melebihi perkiraan saya. Saya sangat berterima kasih teman-teman semua sudi singgah disini, tentunya sebuah kehormatan yang luar biasa, yang memacu saya untuk menulis dan terus menulis. Jadi sebetulnya ini blog sebagai latihan menulis (hehe). Dan saya komit untuk tidak berafiliasi dengan blog-blog yang sudah major juga tidak pasang2 iklan- selain karena gak ada yang ngajakin juga gak ngerti masangnya- hehe.

Sebelumnya bila dalam tulisan saya banyak ajakan ini-itu, pengertian ini-itu, tentunya ajakan ini untuk saya pribadi terlebih dahulu, sebab sering dalam liku-liku perjalanan yang saya lalui, lebih sering ketemu beratnya daripada gampangnya, sering bertemu sakitnya dari pada senangnya. Tapi yaa, mungkin hidup itu begitu, mencoba meminimalisir dengan mencoba memahami dan memberi pengertian pada diri sendiri. Tentu tidak mudah melakukan semua itu. Tapi percayalah dengan menulis unek-unek rasanya semua sudah tumplek blek !.

Disatu titik hidup saya, saya pernah down yang luar biasa. Kepergian dua sahabat baik yang selama ini bersama-sama dalam susah, susah dan susah sekali (hehe) dan senang, senang sekali -sampai sakit perut- membuat mental saya benar-benar jatuh ke titik minus. Lalu akhir masa kuliah yang artinya perpisahan dan didepan ternyata lebih banyak perpisahan demi perpisahan dengan banyak sahabat yang lain memperparah keadaan.

Siapapun memerlukan persahabatan, pertemanan. Mungkin rasanya seperti memasuki kolam dengan air yang hangat, begitulah kira-kira gambarannya. Ya pertemuan jiwa dengan jiwa dalam relasi apapun bentuknya adalah takdir, bila satu jiwa dan banyak jiwa lainnya merasakan kesamaan, kenyamanan dalam bentuk visi dan realitas maka tak disangsikan lagi merekalah "jodoh" anda.

Tentu bukan masalah itu saja yang memicu depresi. Banyak hal yang sudah direncanakan ternyata tidak berjalan sesuai dengan keinginan. Saat itu saya sudah menyerah. Dititik itu ingin sekali pulang, berkemas pergi ke Bandung dan selesai sudah. Seperti menekan tombol merah dan dunia meledak lalu lupa-lah saya akan 10 tahun kebelakang dan memulai hidup baru lagi- tanpa pernah mengingat yang sudah-sudah-, Kepergian yang bersih pikir saya, tetapi saya tidak lakukan itu. Saya lalui saja prosesnya, dalam otak saya pikiran demi pikiran terlintas. Beberapa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dulu sulit saya temukan jawaban yang memuaskan.

Dan dari coret-coret di buku akhirnya jadi sebuah blog, seperti yang anda kunjungi ini. Sekaligus memberi jejak pada para sahabat dan teman-teman, baik yang lama maupun yang baru. Jadi blog ini saya dedikasikan buat anda semua.

Tidak ada niat menggurui atau menceramahi. Jika berkaca saja saya sering merasa malu sendiri-kelakuan masih mbragajul- beraninya menulis yang seperti ini. Tetapi saya coba jujur. Suatu malam pernah saya berdoa agak nyeleneh " Allah, bila Engkau hendak melihat ke dalam diri saya tentu mudah saja, tetapi percayalah disana sudah tak ada apa-apa lagi, sudah tak ada ruang-ruang yang bersekat rumit yang tersembunyi" dan saya masih belum tahu apa arti doa yang keluar dari mulut saya itu sampai sekarang.

Ah jadi curhat.

Sekali lagi saya berterima kasih, kunjungan anda adalah apresiasi buat saya.


Salam Hangat

Minggu, 18 April 2010

Hujan Mistik



Memang benar ungkapan para orang tua jaman dulu kalo suara rakyat adalah suara Tuhan. Hari-hari ini kita melihat bagaimana masyarakat bereaksi terhadap apa yang tengah terjadi. Mulai dari pengumpulan koin pembebasan seorang ibu yang sedang berhadapan dengan pihak rumah sakit, sampai aksi grup facebookers boikot pajak, sebagai reaksi atas prilaku oknum petugas pajak yang korup.

Masih sangat bersyukur ternyata masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ”aware”, sadar dan masih memegang prinsip prinsip kebenaran. Iya donk, kondisi ini mengisyaratkan bahwa masyarakat tidak lagi jadi penonton tapi langsung turun
sebagai bagian dari penentu sejarah.

Disatu sisi terbukanya kotak pandora memang membawa berbagai petaka dan penyakit, bahkan memicu peperangan yang tak terperikan, bahkan di yakini akan membawa dampak yang jauh lebih dahsyat di kemudian hari. Tapi menurut versi lain, kotak pandora tersebut juga membawa harapan dan berkah (blessing). (Encyclopedia Britanica 2007).

Mengemuka nya informasi tentang mafia pajak, mafia hukum, permainan-permainan kelas tinggi yang mengarah ke satu titik : uang. Saya yakin hari-hari selanjutnya kita akan disuguhi tayangan yang lebih seru. Reaksi anggota masyarakat pun berlainan menanggapinya. Tapi bila ditanya hal apa yang paling penting yang harus dimiliki setiap orang khususnya pemegang amanah, maka jawaban akan mengerucut ke satu kata : Integritas. Lalu apakah integritas itu ?.

Integritas menurut Henry Cloud (2007) : asal katanya dalam bahasa Prancis dan Latin yaitu :
Intact, integrate, integral dan entirety. Yang diartikan bahwa integritas sebagai “semuanya bekerja dengan baik, tidak terbagi, terpadu, utuh, dan tidak mengalami kerusakan". Jadi integritas seseorang adalah perihal keutuhan dan keefektifannya sebagai individu. Ciri yang paling mudah dikenali dari pemimpin yang punya integritas adalah kejujuran, kesesuaian antara nilai-nilai dan perilaku.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Integritas sebagai keterpaduan, kebulatan, keutuhan, kejujuran, dan dapat dipercaya serta bertindak konsisten sesuai dengan nilai–nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi.

Integritas adalah wilayah mistik, sedangkan ikutannya diibaratkan sebagai hujan yang membawa penentu prilaku, ia menunjukan mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang dapat memancarkan kewibawaan. Ia bukan semu apalagi pura-pura, tapi merujuk pada ajegnya seseorang. Diawasi atau tidak diawasi ia tetap akan melakukan tugasnya dengan baik (Andrian Gostik & Dana Telford).

Integritas sebagai salah satu tantangan kepemimpinan. Bagaimana tidak ?, pemimpin adalah center of life. Disini Integritas personal seorang pemimpin akan memengaruhi integritas komunitas, lalu memengaruhi lagi integritas sosial, kemudian memengaruhi integritas negara. Bisa dikatakan pemimpin yang berintegritas baik dan memiliki "will" yang luhur akan menularkan integritas itu kebawah. Dititik inilah seorang pemimpin kharismatik mampu menjadi jangkar yang kuat bagi tata prilaku masyarakatnya.

Integritas bukanlah bawaan lahir, bukan pula gen yang diwariskan oleh orangtua, juga bukan elmu linuwih yang khusus di pesan oleh eyang kita untuk cucu mereka di kemudian hari, tapi merupakan ilmu kepemimpinan yang bisa dipelajari. Dan seperti pelajaran apapun tak ada yang sekali belajar langsung jadi. Semua ada prosesnya dan proses integritas ini berlangsung setiap detik.

Saya pernah mengulas sedikit tentang pemimpin agama yang berhasil menjadi memimpin negara, bagaimana ciri-ciri spiritual mengejawantah dalam kehidupan bernegara, dalam hal ini sang pemimpin menyadari ke terhubungan nya secara vertikal dan horizontal, ciri-ciri ini sering kita sebut dengan ciri pemimpin yang ber integritas. Dengan demikian pribadi pemimpin yang kuat selalu lahir dari dasar/latar belakang yang juga kuat.

Hanya yang spiritual yang sanggup mengatasi ewuh pakewuhnya dunia materialistik. Demikian juga halnya seorang pemimpin, bila ia telah menghidupi nilai-nilai spiritual dan menjadikan spiritualitas sebagai panglima, maka dia lah pemimpin yang sebenarnya yang akan membawa masyarakatnya menuju masyarakat madani yang dicita-citakan. Dalam dirinya sudah tak ada lagi ketidak sesuaian dalam laku karena semua sudah selaras antara aspek fisik, psikis, sosial, dan spiritual.

Begitu besar harapan rakyat pada pemimpin mereka. Bahkan saking besarnya, beberapa tradisi menganggap seorang pemimpin adalah manusia setengah dewa atau bahkan dewa itu sendiri yang datang dan turun tangan menyelesaikan jutaan persoalan. Dalam beberapa literatur atau yang paling dekat saja misal arca raja, arca-arca raja jaman dahulu digambarkan memiliki empat sampai delapan tangan, masing-masing tangan memegang benda suci. Jadi urusan pimpin memimpin ini bukan urusan remeh-temeh yang cuma berlangsung lima tahun sekali. seorang pemimpin dituntut memiliki lebih banyak tangan-tangan yang tak kelihatan untuk membantu rakyatnya.

Jika memimpin adalah seni maka pemimpin adalah sang maestro yang menentukan bernilai atau tidak karya seninya. Gambaran apapun yang terlihat di kanvas tergantung tangan sang maestro. Begitu banyak model kepemimpinan, berbagai tipe pemimpin telah datang dan pergi. Tapi integritas adalah kualitas diri yang wajib ada pada diri mereka, kualitas kepemimpinan akan ditentukan seberapa hebat integritasnya.

Dan pemimpin yang memiliki integritas tidak berarti tidak memiliki kelemahan. Kelemahan akan selalu ada, tapi pemimpin tipe ini akan segera mengenalinya, mengenali segala kelemahan dan kekuatan dirinya. Dengan demikian ia akan tahu, apa yang harus dan tak harus dilakukannya. Belajar dari kesalahan dan memaafkan masa lalunya.

Menjadi pemimpin yang berintegritas tidaklah mudah, jika berkaca pada sejarah tak jarang kita menahan nafas. mereka yang mengambil jalan instan tak akan bertahan lama, mereka yang kurang sabar akan terjungkal ditengah jalan, yang orientasinya sempit hanya akan jadi bahan tertawaan. Apalagi yang tidak tertarik, maka dia tak akan pernah sampai ke tujuan.

Jadi akan tetap memilih uang (materialistik) ? atau hujan mistik yang luarbiasa sejuk itu ?

Selamat menemukan arti Integritas untuk diri anda sendiri.

Selasa, 16 Maret 2010

Rumput




Entah kenapa waktu sekolah dulu, saya memilih kegiatan ekstrakulikuler karate Kei shin kan. Muridnya sedikit, paling banter mungkin sebelas, kalo full bisa tujuh belas murid dengan tambahan dua murid dari luar.

Bisa jadi karena waktunya fleksibel, jadi kalo pas mata pelajaran gambar yang mengerikan itu di bekali pe-er yang lumayan banyak, njelimet dan tak bisa dipecahkan dengan metode titik-titik atau metode lampu neon sekalipun, maka kita bisa izin ke simpay (kakak, pelatih dojo) untuk absen hari itu. Hmm, atau bisa jadi situasi ekskul karate ini memang mendukung saya supaya lebih kuat secara fisik dan mental. Maksudnya jika ada yang berani memalak saya didepan sekolah, tinggal saya siapkan mental saja untuk mengadukan si pemalak ke para simpay dan teman-teman, dan reaksi yang saya harapkan adalah orang yang memalak saya kemarin itu sudah babak belur, sudah tak mau lagi memalak siapapun alias kapok.
Dan syukurlah sampai saya lulus saya tak pernah dipalak orang.

Latihan ya latihan saja, belajar mukul, belajar nendang, belajar keserasian gerakan ”Kata”, dan masih banyak lagi. Tiap naik tingkat pasti babak belur, kaki keseleo, dada biru-biru karena ada pertandingan teknik perkelahian, tentu saja lawannya juga yang seimbang, satu warna sabuk. Parem kocok dan beras kencur sudah tersedia kalo pulang ke rumah. Well, meski keseleo, dada biru-biru, tangan bengkak tapi pengalaman itu sungguh berarti.

Karena sering ikut latihan antar dojo, beberapa kali nonton, mengamati (jiahhh) pertandingan karate, sedikit banyak saya tahu karakter ”pengemban” sabuk-sabuk ini. Makin ke atas, makin tinggi tingkatan sabuknya, maka teknik-tekniknya makin hebat, bagaimana membanting lawan tanpa harus Bukk ! membuat tubuh lawan berderak keras ke tanah tapi beberapa senti dari tanah, tubuh lawan ditahan dan dijatuhkan dengan indah tanpa rasa sakit yang berarti ! (wess), lalu tendangan-tendangan kearah pelipis lawan dengan tingkat akurasi sekitar tiga atau lima senti meter tanpa harus menyentuh betulan, dan wasit tahu betul poin itu. Pukulan-pukulan tangan kiri seseorang bisa begitu powerful-nya, sehingga dalam waktu sepersekian detik, kepalan tangan sudah mampir di ulu hati lawan dan masih banyak lagi teknik-teknik lainnya. Tetapi, meskipun keras latihannya, tinggi akurasi gerakannya dan tinggi capaian prestasinya para master ini tidak kehilangan ”passion” untuk menyalurkan ilmunya kepada para junior. Bisa dibilang para master ini begitu all out dalam urusan transfer mentransfer ilmu, dan bila ada yang berpikir atau merasa takut akan menyaingi mereka maka itu sungguh masih sangat-sangat jauh.

Di belakang buku hadir latihan ada puisi seperti ini :

Kerendahan Hati
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak dipuncak bukit, jadilah belukar. Tapi belukar yang baik yang tumbuh ditepi danau.
Kalau engkau tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput. Tapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan.
Kalau engkau tak sanggup menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil, yang membawa orang-orang ke mata air.
Tidak semua orang menjadi kapten. Tentu harus ada awak kapalnya.
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu.
Jadilah saja dirimu... sebaik baiknya dari dirimu sendiri.


Ini adalah salah satu puisi favorit saya, dulu sih interpretasinya tentang cita-cita. Maksudnya bila cita-cita tinggi tapi jatohnya ”segini” maka tak usah mutung, cukup menjadi yang terbaik di tempat itu, analoginya seperti singkong, tumbuh, berkembang dan menghasilkan dimanapun anda ditanam.

Dan sekarang saya jadi tahu bahwa kerendahan hati memiliki spektrum yang luas. Dulu sering kepikiran, kenapa para master ini tak pernah kelihatan menonjol atau berbeda, penampilan biasa, bila latihan tasnya saja usang, baju nya kadang lusuh, sabuknya jangan ditanya, warnanya sudah hitam pudar dengan sisi-sisi yang mengelupas sana-sini. Tapi lihatlah muridnya. Meski Tegi-nya masih terasa kasar karena baru, sabuknya masih keras dan warna-warni tapi kebanyakan jarang dicuci. hehehe

Saat lepas Tegi, mereka jadi manusia biasa lagi, jadi seorang calon anggota ABRI, jadi mahasiswa, jadi guru les, jadi anak orangtuanya yang kena giliran bersih-bersih. Selama pakaiannya masih preman kita tak pernah tahu siapa seseorang itu sesungguhnya, dan seberapa tinggi ilmunya.

Barulah kelihatan saat bergerak. Baru takjub ketika memperagakan ”Kata”. Ternyata naturenya begitu, makin tinggi makin biasa-biasa, seperti seekor macan dewasa yang berjalan merunduk. Dan sudah nature nya begitu, bahwa segala yang dilahirkan akan tumbuh menjadi besar, dengan melihat siklus biji mahoni yang kelak menjadi pohon besar sepertinya penulis puisi diatas juga hendak mengingatkan bahwa semakin tinggi seseorang seharusnya tidak makin membahayakan buat kehidupan yang lainnya, tapi memberikan ruang untuk hidup bersama dan ruang untuk berkembang.

Pohon besar, belukar kayu, rumput, jalan besar, jalan kecil, apapun. Satu tidak lebih rendah nilainya dengan yang lain, pohon besar menaungi, belukar melindungi dan rumput menunjukan arah, adalah suatu kesombongan bila mengatakan rumput dan belukar hanyalah organisme yang tanpa guna. Seperti juga tingkat-tingkat dalam masyarakat, kita sering mendengar ada ungkapan sampah masyarakat, benalu, penyakit sosial, dsb. Tapi tanpa pengetahuan yang cukup tentang mereka kita tidak pernah tahu benar dan salah.

Bila biji pohon mahoni masih sebesar rumput maka usaha maksimalnya adalah bertumbuh, sebab menjadi besar dan kecil kadang hanya masalah waktu yang dipergilirkan.

Persoalan lainnya adalah nilai diri. Pohon adalah pohon, seperti halnya belukar kayu dan rumput, mereka unik dan diciptakan ada karena dari segi kegunaanya juga bermacam-macam. Sungguh tak apa-apa menjadi rumput dan tak ada yang salah dengan rumput. Mungkin rasanya sekedar mengisi satu siklus kehidupan, tapi tak ada yang harus membuatnya berkecil hati apalagi rendah diri dihadapan sang pohon. Meskipun rumput, tetapi jadi rumput terbaik yang pernah ada, rumput emas yang memperkuat tanggul dipinggiran jalan yang dilalui manusia.
Saat badai hanya pohon yang paling kuatlah yang bisa bertahan hidup, selebihnya terombang-ambing dalam gelombang lalu mati dan membusuk. Sedang rumput diterpa banjir bandang tsunami pun tetap hidup karena daya tahannya terhadap krisis. Maka sudahlah, jadilah terbaik dari peran apapun yang diberikan pada kita. Sekali lagi, tak apa apa menjadi bukan siapa-siapa. Sungguh tak mengapa menjadi rumput.

Well, baik sebagai pohon besar, belukar kayu, rumput, jalan besar, jalan kecil, bila yang kita lihat semua penuh guna dan makna maka rayakanlah hidup anda ! :)

Rabu, 17 Februari 2010

Dewa Ruci



Assalamualaikum, Haloo, Salam sejahtera

Begini nih kalo nonton tv cuman seminggu sekali, gak update !!. Banyak informasi hanya didapat dari nge net di ponsel. Dan selalu dua hal : Pertama, saya tidak melahap semua informasi dan ini saya syukuri sekali, karena dengan ngenet saja pun sudah cukup tahu perkembangan dunia. Ngenet di ponsel juga berarti saya bisa memilih-milih informasi yang ingin saya ketahui saja. Yang kedua, nah itu tadi tidak update alias agak gak mudeng, sering juga yang penting-penting terlewatkan. Tapi ya sudahlah, saya pikir too much information juga bisa mempengaruhi pikiran. Bener gak ?.

Dan memang luar biasa kasus-kasus yang ada sekarang, kalo gak bikin ngeri, eneg, geleng-geleng kepala, sampe yang akan mengelus dada sambil istighfar.

TV cuman buat nonton wayang kulit dan kartun. Dan sudah kebiasaan. Mungkin karena ayah saya, yang "keranjingan" nonton lakon-lakon wayang tersebut, beliau bahkan akan bela-belain bangun tengah malam, untuk sekedar melihat siapa dalang nya. Dan saya pun biasanya akan ikutan nonton. Bukan "keranjingan" tapi VOLUME nya itu lho ! mau ngga mau mendingan nonton sekalian.. hehe. Oke ini dia.

Malam itu lakon nya adalah DEWA RUCI. Tulisan ini juga saya sarikan dari berbagai sumber.

Kita mulai dari sosok bernama Bima.

Dari keenam putra Kunti Nalibrata (Adipati Karna dihitung), Bima adalah sesosok kesatria berbadan besar. Bima lahir dari hubungan Kunti dan Dewa Bayu. Sejak kecil hingga dewasanya dia memang istimewa, sering digambarkan sebagai tokoh yang kuat, seseorang yang kasar dan menakutkan bagi musuh. Walaupun demikian sebenarnya hatinya sangat lembut. Lupakan Yudistira yang bijak, bukan Arjuna yang tampan, juga bukan sikembar Nakula -Sadewa. Ialah Bima yang demikian rajin membantu Drupadi dalam urusan rumahtangga saat mereka diusir jauh ke tengah hutan karena kalah judi. Sifat ini digambarkan Dewi Drupadi menjelang ajalnya, bahwa diantara kelima suaminya, ternyata Bima adalah suami yang paling sensitif.

Kisah Dewa Ruci ini rasanya akan jadi favorit saya. Betapa tinggi nilai filosofinya, betapa kuat pesan yang hendak disampaikan. Karena sebetulnya serat Dewa Ruci ini sangat panjang dan sufistik sifatnya (lihat websitenya alang-alang kumitir wordpress com) maka saya mengambil yang pas-pas saja, supaya aman.

Dimulai dari Amarta. Karena ingin menguasai kerajaan Hastina kaum Kurawa (Duryudana CS) bersekongkol dengan guru mereka Dronacharya untuk melenyapkan Bima. Perintah Dronacharya sangat jelas pada Bima, segera temukan sumber air kehidupan, Tirta Pawitra. "Siapapun yang menemukan air kehidupan maka ia akan mencapai kesucian dan kesempurnaan", begitu pesan sang guru. Maka sebagai puja bakti pada gurunya dimulailah misi ini. Keluar masuk hutan ganas, membunuh dua raksasa pun dilakoninya, tapi air kehidupan itu tak ada disana. Bima pun kembali ke gurunya untuk meminta petunjuk, dan Drona memastikan bahwa kali ini ia tak akan gagal melenyapkan Bima dengan menyuruhnya mencari air itu ke tengah laut selatan yang dihuni naga Nemburnawa yang sakti.

Ditepi samudra biru Bima termangu. Tak ada siapa-siapa disana, sementara dari kejauhan Dewa Ruci memandangnya dengan iba, ya tirta pawitra itu mitos, tidak pernah ada. Dewa Ruci menghampiri sambil menyapa :

"Apa yang kau cari, wahai Bima, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini. Di tempat sesunyi dan sekosong ini."

Sang Bima terkejut dan mencari ke kanan kiri, setelah melihat sang penanya, lalu ia bergumam: "Makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi. Kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?"

"Serba sunyi di sini, mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini, sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya". lanjut Dewa Ruci seraya membaca pikiran Bima.

Sang Bima semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa.

"Ah, gelap pekat rasa hatiku. Entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. Dan siapa sebenarnya aku ini," tanya Bima

"Ketahuilah anakku, akulah yang disebut Dewa Ruci, atau sang Marbudyengrat, yang tahu segalanya tentang dirimu, kau anak Kunti, keturunan Wisnu yang hanya beranak tiga, Yudistira, dirimu, dan Arjuna. Yang bersaudara dua lagi Nakula dan Sadewa dari ibunda Madrim si putri Mandraka," jawab Sang Dewa Ruci.

"Datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang Drona, untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini." berkata Sang Dewa Ruci.

"Bila demikian, wejanglah aku seperlunya, agar tidak mengalami kegelapan seperti ini. Terasa bagai keris tanpa sarungnya," ujar Bima.

"Sabarlah anakku, memang berat cobaan hidup. Ingatlah pesanku ini senantiasa : Jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipinya, jangan memakai sebelum tahu itu pakaianmu,
tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan. Janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas. Bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan," berkata Sang Dewa Ruci.

" Wahai Dewa Ruci, tahulah sudah di mana salah hamba. Bertindak tanpa tahu asal tujuan. Sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka," lanjut Bima pasrah.
"Nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku," kata sang Marbudyengrat.

Sang Bima tertegun tak percaya mendengarnya.

"Ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya. Paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit. Kelingking pun tak akan mungkin muat.
"Wahai Bima si dungu, anakku. Sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? Seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku. Jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam. " jawab Sang Dewa Ruci.

Mendengar ucapan sang Dewa Ruci, sang Bima merasa kecil seketika. Dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang Dewa Ruci.

"Hai Bima, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana," ujar Dewa Ruci.

"Hanya tampak samudera luas tak bertepi," ucap sang Bima. "Alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung, tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang," ujar Bima lagi.

"Janganlah mudah cemas," ujar sang Dewa Ruci. "Yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan Yang Maha Kuasa".
Dalam seketika sang Bima menemukan arah mata angin dan melihat surya. Setelah hati kembali tenang tampaklah sang Dewa Ruci di jagad walikan.

"Hai, Bima! Ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan," ujar Dewa Ruci.

"Awalnya terlihat cahaya terang memancar, " kata sang Bima. "Kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. Apakah gerangan semua itu?" tanya Bima.

"Ketahuilah Werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, penerang hati, penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. Cahaya empat warna, itulah warna hati. Hitam, merah, dan kuning adalah penghalang cipta yang kekal. Hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki. Hanya si putih lah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam. Namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain. Sendirian melawan tiga musuh abadi, Hanya atas pertolongan Tuhan lah si putih akan sanggup kau menangkan" Jawab Dewa Ruci.

"Sebelum hal itu dijelaskan," kejar sang Bima. "Hamba tak ingin keluar dari tempat ini, Serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya".

"Itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai Werkudara," jawab Dewa Ruci.

"Dan mengenai Tuhan, engkau akan menemukannya sendiri. Setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala usaha serta mampu bertahan dari segala godaan. Di saat itulah kau akan menyadari. Dan batinmu akan berada di dalam Dia".

"Anakku, janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu. Lakukan, amalkan, terapkan apa yang telah kau ketahui, jangan hanya mempercakapkannya belaka. Jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini. Jangan pernah punya sesembahan lain selain Sang Maha Suci. Pakailah senantiasa pengetahuan ini. Pengetahuan lainnya adalah pengetahuan antara, yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati. Tujuan hidup adalah mencapai yang kekal. Di dunia ini semuanya akan berlalu, tak perlu lagi segala aji kedigjayaan atau kesaktian, semuanya sudah termuat di sini" lanjut Dewa Ruci sambil menunjuk ke hati nya.

Maka selesailah wejangan sang Dewa Ruci. Sang guru merangkul sang Bima dan membisikkan segala rahasia rasa. Terang bercahaya seketika wajah sang Bima menerima wahyu kebahagiaan.
Kini ia bagaikan kuntum bunga yang telah mekar, menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta. Dan Byaaar ! Dewa Ruci hilang bersama cahaya surya, seketika sang Bima sudah berada di tepian samudera. Terasa segar dan tercahayai. Ia siap menjalani hidup dengan semangatnya yang baru.

Apakah yang dibisikan sang Dewa Ruci pada Bima ?? tak ada yang tahu. Tapi dalam bayangan imajiner saya, saya sempat melihat gerak bibir Dewa Ruci. Begini bunyinya :

"Barang siapa mengenali dirinya, maka ia akan mudah mengenali Tuhan nya".

Gak bisa lebih padat lagi, sebab itu inti cerita nya. Disini Dewa Ruci mengajari Bima untuk mengenali diri sendiri, dia diajak jujur melihat dirinya, melihat segala sifat manusianya, bukankah panglima perang sehebat SunTzu juga mengatakan bahwa mengenali kekuatan dan kelemahan diri adalah langkah awal kemenangan ? menang dalam hal apa ? yang jelas menang dalam hidup di dunia yang serba relatif ini.

Berbeda dengan Drona yang memerintahkannya untuk mencari sesuatu yang tidak ada di luar sana, sang Dewa malah menyuruhnya mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Dan lihatlah, sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, nafsu amarah (hitam), nafsu angkara (merah), nafsu memiliki (kuning) dan nafsu yang tenang /mutmainah (putih).

Dewa Ruci berpesan kepada siapapun yang telah mendapatkan pengetahuan (baca: menuntut ilmu) adalah wajib untuk mengamalkan semua ilmunya dari pada hanya membicarakannya.

Dan tentang bagaimana menemukan Tuhan ditengah pilihan yang serba tidak mudah seperti sekarang, dimana segala kesulitan terus bertambah-tambah, bencana datang tak berhenti, lalu segenap usaha menemui kegagalan. Mundurlah sejenak, dan mulailah menyadari. Ya, sesuatu yang lebih besar, lebih berkuasa dari diri kita sendiri, sesuatu yang "mengatur" disana. Bukankah kesadaran itu seharusnya menggiring kita bahwa tidak ada daya upaya melainkan pertolongan -Nya ?.

Inikah yang di maksud, bahwa kita akan menemukan-Nya sendiri ??

Selamat mengenal diri !

Rabu, 13 Januari 2010

Avatar : Menyaksikan Kelahiran Para Pemberani



“The conquering of fear is the beginning of wisdom. Kemampuan menaklukkan rasa takut merupakan awal dari kebijaksanaan” Aristotle


Mantep dah ! kata beberapa teman setelah menyaksikan Avatar 3D. Kalo menurut saya sih 20 % nya biasaaaaa banget, tapi 80 % nya : EDDUUN !

Ya, Avatar merupakan film HOT yang menjadi penutup rangkaian film-film Holywood ditahun 2009, dibuat dengan jumlah dollar yang fantastis ($ 300 juta), konon James Cameron menghabiskan waktu 3 tahun hanya untuk risetnya saja.

Dimulai dari karakter Jake Sugi, eh Sully yang harus menggantikan saudara kembarnya memasuki dunia Avatar yang sama sekali asing, oke baiklah.

Tersebutlah sebuah dunia bernama Pandora. Sebuah dunia super indah yang paling mungkin ada diluar sana. Tanah leluhur yang agung, Pohon-pohon tua dimana arwah para pahlawan bangsa Na'vy berkumpul, aneka rupa satwa jinak dan buas mengisi keindahan Pandora, gunung-gunung hijau yang melayang diangkasa, lengkap dengan air terjunnya. Aneka rupa tetumbuhan yang memancarkan cahaya-cahaya biru, bunga-bunga sulur yang menyala, kendaraan serupa naga-naga beterbangan mengisi dunia yang tercipta dengan indahnya. Pandora dan bangsa Na'vy adalah kesatuan yang telah lama terjalin dalam harmoni.

Dan selama berabad-abad bangsa Navy telah menghuni Pandora dengan etika yang benar, dimana pembunuhan terhadap binatang atau perusakan pada alam adalah hal yang amat tabu, terlarang dan melanggar hukum tertinggi. Penghormatan yang tinggi terhadap alam inilah yang membuat alam pun melakukan perlindungan terbaik juga untuk mereka. Ada belasan suku yang tersebar disana, terpisah, komunal. Meski begitu mereka akan memenuhi satu panggilan saja : penerbang bayangan atau pengendali Toruk Macto !

Dan -sialnya- bangsa yang serakah selalu ini : ras manusia !. -Maaf jangan tersinggung!- Manusia konon telah lama mempelajari Pandora dan seluk beluk bangsa Na'vy. Keserakahan ternyata tidak pernah tertarik pada keindahan alam seindah apapun !. Ketertarikan manusia disana hanyalah karena batuan bernama Unobtanium yang berharga mahal. Pada awalnya avatar dibuat untuk membujuk bangsa Navy agar meninggalkan pohon keramat dimana para leluhur mereka bersemayam. Tanah dimana pohon keramat ini tumbuh adalah juga sumber terbesar batuan Unobtanium tersimpan, tapi dalam perkembangannya bangsa ini pun di serang juga. Sementara manusia melihat jumlah uang, bangsa Navy melihat pohon keramat ini adalah puncak spiritualitas, penyembuhan, tatanan hukum dan lebih dari itu pohon ini adalah "Hidup" mereka.

Entah apa yang ada di pikiran James Cameron saat menulis dan mensutradarai Avatar, apakah dia menangkap kegelisahan alam ? yang jelas pesannya pada betapa pentingnya menjaga alam, berdamai dalam harmoni, dan bahaya RAKUS semua tergambar dengan indah disana.

Dan untungnya manusia tak melulu jadi biang kerok segala masalah yang ada di bumi, setiap pahlawan pemberani bisa lahir kapan saja dimana saja pada waktu yang tepat, tak akan banyak-banyak memang, tapi cukuplah membuat bumi ini jadi sedikit lebih nyaman untuk dihuni dan cukup tenang untuk bisa dijadikan sumber pengharapan.

Diantara ratusan ribu tentara dan ilmuwan yang ada, hanya beberapa saja yang membelot dan membela bangsa Navy, mereka-mereka inilah yang masuk, berinteraksi, membaca, memahami, menyelam lebih dalam ke kehidupan mereka. Dan inilah titik balik mereka untuk mengangkat senjata dan memutuskan melawan.

Tanah Pandora rusak parah, bangsa Navy banyak yang terbunuh, mereka pun menjerit. Dititik ini kita memahami, tak ada sesuatu pun yang bisa memuaskan jiwa-jiwa yang serakah, akan selalu ada keinginan memiliki kolam yang ketiga, keempat dan seterusnya.

Menjadi pemberani memang penuh resiko. Jangankan harta, nyawa pun dipertaruhkan. Bagi orang yang telah mengenal dirinya keberanian bukanlah lawan dari ketakutan, tapi adalah upaya melampaui rasa takut itu sendiri. Keberanian bisa diartikan sebagai tindakan untuk setia pada suara hati, bahkan sampai kekuatan terakhirnya tak bersisa.

Dan ketika harapan satu-satunya adalah kekuatan alam itu sendiri :

" Ibu alam ini tidak memihak, ia hanya menjaga keseimbangan" demikian pesan Neytiri ditengah keputusasaan Jake Sully menyelamatkan Pandora.

Dan akhirnya Alam akan selalu menemukan keseimbangannya. Alam akan selalu punya cara menyeimbangkan kekuatan-kekuatan didalamnya. Memang dia tak akan memihak, tapi tak akan mengabaikan siapapun yang memberikan penghormatan kepadanya. Ya alam inipun balas mencintai siapapun yang mencintainya.

inikah pesan James Cameron dalam Avatar ? who knows ?