Kamis, 26 Februari 2009

PS: Cinta Menunggu di Rumah



Salah satu keunggulan dilahirkan di zaman ini adalah mudahnya akses informasi. Dalam satu hari ini saja saya sudah baca dua kecelakaan pesawat terbang. Dan yang tadi saya saksikan saat pulang kerja adalah dua buah kecelakaan mobil. Hari sabtu sebelumnya masih di sepanjang ruas tol yang sama, dua kecelakaan terjadi lagi salah satunya mobil sedan yang terjun bebas ke areal pesawahan. Wow ada apa ini ?

Sebagai orang yang nyaris "death" saya seperti dejavu. Dan tiap melihat, mendengar atau membaca yang topiknya kecelakaan saya suka parno.

Di akhir tahun 2003 saya dan beberapa teman menumpang mobil Avanza. Dari serang, kami berenam melesat ke arah Bandung. Hari itu kami berniat menghadiri pernikahan seorang rekan kerja kami. Saya ingat pagi itu jalan begitu lengang, udara masih sangat sejuk, kita sengaja berangkat pagi sekali untuk menghindari kemacetan dari arah Jakarta.

Baru kira2 lima menit kita jalan, dari arah berlawanan sebuah truk yang mengangkut bilah-bilah baja berat terlihat oleng, dalam jarak yang lumayan dekat tiba2 terdengar bunyi letusan yang keras, Duarr!. Teman saya langsung menginjak gas, dalam tempo sepersekian detik ia berusaha menghindari truk oleng yang melewati pembatas jalan tersebut. Alhamdulillah kami lolos. Tapi dari belakang, dengan mata kepala saya sendiri saya melihat truk yang massanya besar dan kecepatan tinggi langsung menghantam sebuah bis karyawan yang saat itu sedang penuh-penuhnya. Tujuh orang tewas seketika.

Kami yang dari awal perjalanan bercanda tak karuan mendadak diam, tak satupun bicara dalam hati kami masing2 sangat bersyukur sekaligus prihatin atas kejadian pagi naas itu. Obrolan pun berganti, dengan suara pelan kami berandai-andai jika saja terlambat maka lewatlah sudah. Dan jika "lewat" begitu maka ...

Saat itu saya baru sadar. Seandainya hanya diberi waktu beberapa detik saja sebelum mati menjemput, apakah yang paling saya inginkan ? dan jawabannya tidak mengagetkan.

Didepan kematian yang temponya sepersekian detik dan jaraknya sepersekian meter itu segala ambisi ingin punya ini-itu hilang sudah. Di depan kematian, apa yang pernah saya banggakan luntur sudah, apa yang telah lewat/luput dari saya dan apa yang saya raih semua tak ada artinya. Bahkan segala kebencian, segala penyesalan, segala dendam habis sudah. Jika saya hanya punya waktu beberapa detik saja atau kesempatan kedua melanjutkan hidup, saya hanya ingin jadi orang yang lebih baik, just to be a better man !.

Demi Tuhan ternyata saya sangat tidak siap dan mungkin sampai hari ini tak pernah siap jika harus mengalami yang namanya mati, maka betapa Maha Bijaksana nya Tuhan dengan merahasiakan kematian seseorang.

Sewaktu ibu kita melahirkan kita, secara otomatis kita adalah milik orang tua, gedean dikit kita adalah milik masyarakat sebab segala aturan dan hukum bermasyarakat berlaku atas diri kita, disana kita adalah milik para teman dan para sahabat dan tetangga. Lalu bila kita sudah berkeluarga kita adalah milik suami atau istri dan anak anak kita. "KITA" yang saya maksud berarti manusia secara keseluruhan alias semua orang. secara universal, baik ortu, teman, sahabat, keluarga handai taulan. mereka adalah bagian dari hidup kita yang berprinsip hampir sama : mereka hanya menginginkan hanya hal-hal baik saja yang menimpa diri kita.

Dalam konteks, banyaknya orang yang begitu memperhatikan dan menyayangi sekaligus mendoakan kita itu seharusnya sense kita utk mencintai diri sendiri lebih besar dari mereka.

Be hold !, betapa berartinya keberadaan kita disisi mereka ! anda mungkin tak merasakannya karena senyuman sudah merupakan santapan tiap menit hidup anda. Saking seringnya meremehkan diri sendiri kadang kita tidak menyadari bahwa kita bukan lah manusia remeh temeh dimata orang-orang terdekat kita.

Oleh sebab itu saya mengajak pembaca untuk lebih menyayangi diri sendiri terutama jika sedang berkendara. Boleh jadi profesi anda sopir truk, pengemudi taksi, atau pemilik mobil pribadi, pengendara motor sepeda bahkan pejalan kaki sekalipun. Saya berharap anda aware terhadap diri sendiri, sehingga tak ada lagi mobil jungkar-jungkir di tol.

Lihat saja ! banyak cinta menunggu dirumah, bukankah dengan datang utuh sampai rumah kita bisa mewujudkan satu cita-cita lagi : to be a better man/woman ! sebelum kematian yang jarak dan waktunya unknown itu datang.

Sabtu, 14 Februari 2009

Pilihan Dan Ketetapan



Beberapa waktu lalu kerabat saya mengangkat seorang anak yang masih bayi. Saat itu sang bayi terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena masalah pencernaan, ketika saya datang jarum infus menancap dilengan mungilnya yang rapuh, tiap bangun tidur bayi laki-laki berusia 6 bulan itu tak mau lepas dari gendongan, tiap akan di tidurkan ia selalu menangis makin lama makin kenceng, akhirnya kami berenam yang ada di rumah sakit sepakat untuk gantian menggendongnya.

"Kasihan, orang tuanya sudah tidak bekerja. Anaknya banyak, usia sekolah pula, mereka tak sanggup beli susu, dia hanya dititipkan ke tetangga sedang orang tuanya kalang kabut cari uang. Tetangganya juga udah nyerah tak sanggup lagi karena mereka juga banyak anak dan penghasilannya cuma dari warung, bayi itu jarang di gendong, jarang diajak main" cerita kerabatku sambil sesenggukan, airmatanya meleleh perlahan. Matanya cekung karena kurang tidur, selain dia juga sedang sakit.

Rupanya itu yang menyebabkan sang bayi tak mau lepas dari gendongan. Diam-diam entah kenapa dalam hati saya ada semacam rasa sakit yang susah diurai. Menusuk ke ulu hati, kadang seperti menonjok-nonjok dan itu cukup membungkam saya seharian. Di RS kami "keluarga" nya yang baru menungguinya selama seminggu, gantian menggendong, menjaga, mengajaknya bermain.

Ada sesuatu disana. Mata yang polos, senderannya yang hangat, tawanya yang lepas. Rasanya melegakan merasakan lagi sesuatu yang tak bersyarat. Saat berlelah-lelah karena kurang tidur. Saat berdoa, kami baru sadar bahwa kami sudah jatuh cinta padanya, dan betapa menyenangkannya saat2 itu. Saat dimana cinta sudah tak dipusingkan oleh urusan pilih memilih.

Jika ada satu hak yang paling dasar yang diberikan Tuhan ke manusia, pastilah itu adalah kebebasan untuk memilih. Dalam hidup, urusan pilih memilih adalah hal biasa. Beberapa kategori/pilihan ditimbang-timbang, dihitung, dipikir lalu diputuskan dengan harapan itulah yang terbaik.

Namun ternyata banyak hal yang ada di diri kita juga bukan hasil pilih memilih, nego, tawar menawar, pesen dulu atau lobi-lobi dengan Yang Diatas.

Bayi kerabat saya itu contohnya. Dia tak memilih hendak dilahirkan dimana, sukunya apa, wni apa bule, dari rahim ibu yang mana, atau ayah dengan jabatan apa yang hartanya se gimana. Kelahirannya di tengah situasi yang berat tentu bukan salah hitung. Terlahir agak kurus pastinya bukan karena gagal nego. Kurang terurus juga bukan karena telat ngurus absen saat ngelobi. Jika sekarang terbaring di RS juga bukan karena gagal nawar.

Bukan tawar-menawar ini akan dirasakan sangat kuat bagi teman-teman penyandang cacat dan para sahabat yang di beri "old soul". Untuk pertama kali saat menyadari ada yang berbeda dalam dirinya. Banyak pertanyaan kenapa terlahir begini begitu, lalu di akhir menyadari apa yang di sandangnya bukanlah hasil "pesan dulu" ke Tuhan, tapi saya yakin perlindungan Tuhan buat mereka amat sangat sempurna.

Sekarang saya ingin mengajak pembaca menghargai pilihan-pilihan yang dimiliki, juga mengajak menerima hal-hal yang sudah merupakan ketetapan kita, kepastian, kemelekatan yang sudah merupakan 'kehendak' Sang Khalik Yang Maha Adil. Tidak terlalu berbangga diri atas hasil pilihan kita -yang menyenangkan dan indah itu. Juga tidak terlalu sedih dengan apa yang sudah terjadi.

Posisi anda sekarang sudah ada ditengah.

Pilihan yang disodorkan dan ketetapan yang mengikat itu adalah 'sudah demikian adanya', dan semua tentu ada maksudnya

Mau berusaha atau tidak itu pilihan, hasilnya ketetapan...
Pernah gegar otak itu ketetapan. Mau Belajar atau tidak itu pilihan.
Sariawan di mulut di lima tempat itu ketetapan. Makan soto atau sop kambing itu pilihan.
Menggunakan sepeda motor itu pilihan. Kena tilang itu ketetapan.
Mencintai itu pilihan. Kepada siapa orangnya itu ketetapan.

Tetapi. Memutuskan berbahagia di setiap saat dan disegala situasi lalu memberi yang terbaik dan sebagainya (.....isi sendirilah). Selamanya itu adalah pilihan anda.

Hak penuh anda yang tak seorangpun berhak merintangi atau menghalang-halangi.

Selasa, 03 Februari 2009

Buminya dipijak, Langitnya dijunjung, Alamnya di sayang



Banjir dan banjir lagi, selain berlangganan majalah, pulsa HP, warnet dsb..dsb kita juga langganan banjir dan semakin kesini semakin gak main-main. Bencana kali ini terhitung luar biasa, banjir menggenang berbagai lokasi-lokasi pemukiman, pesawahan, sentra industri, perdagangan, sekolah-sekolah, kampus-kampus yang dihuni para mahasiswi cantik, gedung perkantoran dan berbagai fasilitas umum yang biasa kita sambangi. Ikutannya banyak juga, seperti longsor, hujan deras sejadi-jadinya yang tak tentu, angin topan, badai di lautan, magnet laut yang ganas seperti di Majene. Bencana datang begitu bertubi-tubi.

Alam ini layaknya penari agung super maestro yang tanpa lelah berputar, bergerak dan bergetar. Namun kali ini yang kita lihat seperti gerakan orang marah yang energi-energinya tertumpah ruah tanpa kendali. Ia seperti hendak bicara tapi tertahan, ingin menyapa tapi sungkan. Wahai apa gerangan yang membuat alam ini demikian gelisah ?.

Alam yang kita kenal ini punya "Nama", "Ruh/nyawa" dan "Kehidupan". Ia tunduk pada hukum-hukum dasar yang telah di tetapkan Pencipta untuknya. Ia didesain sedemikian apik untuk memenuhi hajat hidup manusia yang memijaknya. Karena butuh makan tanahnya dicangkuli, di bajak, semuanya dieksplor habis-habisan. Lautnya dikeruk, ikannya dinikmati, mutiara-mutiaranya dijadikan hiasan, dan diambil segala keindahannya. Langitnya dipenuhi deretan frekuensi radio yang memungkinkan kita mendengar merdunya nyayian Beyonce Knowles, melihat indahnya paras selebriti, jernihnya selular dan cepatnya koneksi internet.

Semua yang berasal dari alam ini di eksploitasi habis-habisan. Tapi inilah hebatnya. Beberapa dari kita lupa menanam setelah menebang, lupa mendaur ulang sehabis menggunakan, lupa melakukan perbaikan setelah giat nyedot minyak dan gas yang mahal itu. Beberapa dari kita lupa memberi setelah menerima begitu banyak. Lupa berterima kasih pada alam yang merupakan titipan Tuhan.

Yang lebih parah beberapa dari kita, lupa menyelamatkan alam, lupa bahwa komposlah penyubur tanah, bukan darah manusia.

Semua yang ada di bumi ini terdiri atas molekul-molekul dan atom atom yang "hidup", bergerak dan bergetar. Banyak penelitian membuktikan bahwa tanaman yang sering diajak bicara pemiliknya akan tumbuh lebih sempurna dari pada yang disiram sekedarnya. Air yang kita konsumsi ini ternyata menyimpan memori dan emosi (masaru emoto, gramedia). dan akan banyak lagi yang membuktikan bahwa alam pun mengerti bahasa kasih. Ia merespon apa yang kita pikirkan, bergerak menyesuaikan diri dengan apa yang kita lakukan, alam ini luarbiasa cerdasnya dan kita hanya perlu "menyimak".

Menyimak tanda-tanda alam yang mulai menjerit meminta kita berhenti berbuat semaunya. Alam ini telah, akan dan siap mencukupi semua kebutuhan manusia di bumi ini kecuali.. keserakahan nya. Lalu apakah akan kita biarkan alam ini memenuhi takdirnya : makin lama makin ganas ?, apakah akan kita biarkan ia berjalan sendirian ditengah keserakahan dan rasa iri?.

Untuk beberapa pertanyaan ini rasanya kita tak boleh tinggal diam. Saya mengajak pembaca untuk memahami alam yang mulai marah, kita mulai dari hal yang paling kecil untuk mencintainya. Anda pembaca yang hebat tentu sangat paham berbagai upaya melestarikan alam kita, mari menanam kembali, mari perbaiki yang rusak, mari menghimbau mereka-mereka yang berbuat kerusakan agar berhenti sekarang juga, mari mencintai lagi Tanah, Udara, Air, Alam kita ini untuk kehidupan yang lebih baik.

Sebab alam ini sedang membutuhkan orang-orang yang berkarakter yang mau peduli padanya, lalu siapa lagi kalo bukan : Anda