Jumat, 23 Desember 2011

Inner Power



Sudah di penghujung tahun lagi…ah alangkah cepatnya. Dan blog ini sudah dua bulan gak diurus, hehe…

Bagian yang paling saya sukai dari koran terbesar di negeri ini adalah foto-fotonya yang menawan, seperti beberapa hari lalu dalam satu buah foto yang dimuat, terlihat seorang biksu Tibet yang sedang menutupi mukanya dengan sejenis kipas sementara di seberangnya terlihat serdadu China sedang berjaga-jaga. Saya mencoba mengira-ngira sebenarnya yang sedang dihindari biksu Tibet ini, sengatan matahari kah? Atau ketiga serdadu itu? Melihat lagi dari dekat mimik mukanya, apakah ada kegetiran? Khawatir? Atau…?

Saya jadi ingat dialog antara Neo dan Oracle dalam film Matrix. “Apakah yang paling diinginkan seorang penguasa?” Tanya Oracle. Neo menggelengkan kepalanya dan Oracle menjawab sendiri pertanyaan yang diajukannya “Lebih banyak lagi kekuasaan!”. Ya kekuasaan.
Tetapi sekarang kita tidak akan membicarakan kekuasaan-kekuasaan yang bersifat luaran melainkan kekuasaan yang telah ada di dalam diri kita sendiri.

Tahun ini terus terang adalah tahun yang sangat luarbiasa bagi saya. Tahun yang paling menyenangkan sekaligus paling menyedihkan. Tahun yang membawa saya turun naik dengan ekstrim. Tahun yang membuat saya bisa tertawa sekaligus menunduk dalam-dalam, terutama karena kesedihannya, rasa sakit dan kematian dua orang kerabat keluarga kami.

Sempat terhuyung beberapa saat. Sempat sesak napas agak panjang, namun kemudian menyadari terlalu banyak melawan, memukul, menendang (baca: tidak ikhlas, banyak bertanya, ngotot, banyak menyalahkan) ternyata tidak saja membuat pemulihan semakin lama tetapi lebih jauh: membuat hidup semakin memburuk!.

Diam Saja
Lalu ketika berhenti melawan, memukul, menendang, lebih banyak diam dan mulai memasuki pasrah dan menyerahkan diri tiba-tiba segala rasa sakit itu perlahan-lahan menghilang!. Pada peristiwa yang sudah terjadi belajar ikhlas, berhenti menyalahkan orang lain, diri sendiri, lebih-lebih Yang Maha Kuasa.

Dititik itu, mengerti bahwa orang lain dan saya sudah berbuat yang terbaik! Bahkan Tuhan juga meski dangan cara-Nya yang teramat misterius. Jika semuanya bekerja lantas kenapa harus menyalahkan?

Dalam sesuatu yang tampaknya diam sesungguhnya tidak benar-benar diam. Dia bergerak, bekerja dengan cara yang mungkin tidak terpikirkan.. ya beberapa hal baru bisa ditemukan jika kita mau diam sejenak.
Kejernihan akan ditemukan jika kita mulai mampu mengistirahatkan pikiran. Mendiamkannya sejenak untuk memunculkan yang lebih agung didalam diri kita sendiri.

Dan itu ada didalam area kekuasaan kita yang tidak kan sanggup direbut oleh siapapun, kecuali jika kita memang mengijinkannya. Sebuah inner power. Pilihan selalu berada di tangan kita: tenggelam atau menggunakan kekuatan menghadapi segala peristiwa dalam hidup.

Tahun selalu selesai setelah siklus 365 hari. Kadang ada pertanyaan apakah tahun-tahun yang berganti adalah sekedar pengulangan dari sebelumnya? Ataukah ia selalu baru? Apa yang berubah dari pergantian tahun? Peristiwa apalagi nanti?

Ketika saya mengamati lagi foto biksu itu, rupanya ia tidak sedang berduka tetapi menyipitkan matanya menghindari sengatan matahari.

Selamat berdiam diri sejenak, merenung dan bersinar...!

Salam Hangat.

:D


Foto: dok pribadi.

Kamis, 06 Oktober 2011

Listen



"Kehidupan tidak mendengarkan logikamu; kehidupan menempuh jalannya sendiri. Kamu harus mendengarkan kehidupan; kehidupan tidak akan mendengarkan logikamu, kehidupan tidak peduli akan logikamu" ~Osho

Ketika menulis ini, bisa dipastikan penulisnya sedang galau.

Hehe.. entah siapa yang mempopulerkan kata "galau" itu, tetapi yang jelas itu menggambarkan suasana hati yang sedang dirundung gundah gulana.

Setiap orang pasti pernah galau dalam hidupnya, yah setidaknya sekali dalam seumur hidup, pasti pernah berhadapan dengan kondisi yang satu ini. Galau juga identik dengan bimbang, ragu dan kebingungan. Bisa ragu karena terlalu banyak pilihan, atau bahkan bimbang karena tidak sanggup memutuskan, kondisi yang serba tidak menentu dan lain sebagainya.

Banyak orang yang telah sampai pada "menemukan apa yang diinginkan dalam hidup", tipe orang jenis ini tentu sangat beruntung, namun lebih banyak orang merasa "belum tahu apa yang diinginkan dalam hidup". Saya termasuk tipe kedua. Dan tidak merasa sedang kurang beruntung. Dan tulisan ini bukan pembenaran melainkan sebuah proses menemukan apa yang saya mau.

Kalo umur sudah memasuki usia dewasa, ya begini ini. Kadang suka ngehayal, gimana kalo saya hidup dipesantren saja, sebuah tempat yang didalamnya berisi para guru-guru spiritual yang siap menjawab setiap pertanyaan yang saya ajukan, saya tidak usah menjadi member klub Galauers lagi, karena jawaban para Guru tersebut pastilah sudah sangat paten! Tetapi, khayalan khas anak-anak ababil itu segera saya singkirkan jauh-jauh.

Bukankah setiap orang akan/harus melewati fase ini? bukankah setiap orang punya kegelisahan yang harus dijawabnya sendiri? dan daripada menyandarkan jawabannya kepada orang lain bukankah lebih baik jika kita berusaha menemukannya oleh kita sendiri?.

Mendengarkan Hidup

Ketika hiburan semakin banyak, ketika gadget sudah semakin canggih, ketika kemauan saling berkejaran, orang-orang tua jaman dulu menganjurkan agar kita tidak coba mencari jawaban pada semua itu, melainkan mencarinya diantara malam atau tempat-tempat yang sepi. Menarik diri dari hal-hal yang bersifat "luaran" untuk mendengarkan apa keinginan sebenarnya yang ada di "dalam", oleh sebab itu sebagian orangtua akan menyarankan anaknya (bukan menyuruh, melainkan harus kehendak diri sendiri) untuk melaksanakan "Lail", atau dalam tradisi jawa kuno mempraktekan keheningan. Teman-teman pasti mengerti apa yang saya maksud. Terus terang jika diberkahi, orang akan tahu apa yang diinginkannya dan dimudahkan dalam mencapainya, beberapa sahabat saya yang lebih tua merasakannya sendiri.

Lalu bagaimanakah cirinya suara asli dan suara palsu yang ragu-ragu? nah katanya sih untuk inipun kita diberi kemampuan membedakannya, tetapi jika cirinya seperti dibawah ini (seperti biasanya disarikan dari berbagai sumber), maka boleh jadi ini suara asli.

1. Jika Suara itu menyeru kepada kebenaran dan tujuannya untuk kebaikan kita sendiri.
2. Jika berdasarkan ketulusan/ tanpa pamrih.
3. Penuh kejujuran, apa adanya, kadang menyakitkan karena tidak sesuai dengan keinginan kita.
4. Memberikan gambaran dari sudut yang berbeda sehingga pengetahuan kita, kesadaran dan pemahaman kita bertambah.
5. Memiliki getaran yang sangat kuat, sehingga kita kadang merasa sesuatu mengganjal bila belum mematuhinya.
6. Memberikan ketenangan.

Dan musuhnya sang suara asli adalah kemalasan, ragu-ragu dan ego, dengan kata lain hambatan yang paling kuat adalah di diri sendiri juga.

Mempraktekan keheningan itu sulit, bangun malam itu juga sulit, namun bukankah semakin sulit semakin berharga juga apa yang kita dapatkan?

Salam Hangat,


Foto diambil dari National Geographic

Senin, 01 Agustus 2011

Yin-Yang



Paling susah kalau sudah ditanya tentang masa depan.
Pertama saya bukan seorang clairvoyance yang bisa nerawang jauh kedepan, yang kedua pertanyaan serupa sering terlontar di benak saya dan belum punya jawaban yang memuaskan.

Beberapa waktu lalu ketika sedang melakukan perjalanan yang cukup jauh, teman duduk saya adalah seorang mahasiswa semester dua. Sebut saja Yudha, berasal dari Bandung. Yudha galau berat. Cita-cita setelah lulus adalah bekerja. Jika sudah bekerja ingin mandiri, dan ingin sekali memberikan sesuatu buat kedua orang tuanya. Setelah ngobrol banyak akhirnya nanya:
”Apakah pasar tenaga kerja di Indonesia masih banyak kang?”
”Gimana kalo saya kesana-kesini, tetep gak dapet kerja?”
”Apa cita-cita saya akan kesampaian?”
Dan saya pun nyengir.

Bingung bagaimana jawabnya.
”Lha bukannya orangtua mu berkecukupan? Kenapa masih galau?” pancing saya.
”Yah, itu kan orang tua saya kang. Saya pengen mandiri, sudah gak mau ngerepotin lagi”
Mengagumkan buat saya (Diusia semuda itu menjawab seperti itu, bahkan lulus saja belum).

Dan karena tidak mau membuatnya kecil hati, akhirnya pertanyaan-pertanyaan tadi saya jawab juga. Bahwa sekarang Yudha baru tingkat dua, itu artinya perlu sekitar dua-tiga tahun lagi untuk lulus, pada saat itu ekonomi negara kita pasti sudah melesat tajam, saya paparkan bahwa sekarang saja menurut BPS pertumbuhan ekonomi hampir mencapai enam persen, di saat negara-negara lain minus pertumbuhan. Jadi saat dia lulus mungkin pertumbuhan ekonomi negara kita akan mencapai tujuh atau delapan persen itu artinya tak ada yang harus dikhawatirkan lagi. Saat itu Yudha mengangguk-angguk tanda mengerti. Dalam hati saya lalu mengamini, semoga saja hal itu benar adanya.

Dan karena tidak mau meramal-ramal lagi, topiknya saya alihkan ke yang lainnya. Selanjutnya ia bercerita tentang kegiatannya sehari-hari.

Memulai Hidup
Saya tentu saja pernah/sering ada diposisi Yudha. Melihat perkembangan sekarang yang berubah dengan cepat, pastilah menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran. Banyak pertanyaan, apakah semua akan membaik? Bagaimana bila semua malah memburuk? dan sebagainya.

Dalam bukunya ”The Leader In You”, Dale Carnegie memaparkan tentang bagaimana sebuah perubahan selalu disertai dengan kecemasan pada manusia. Di jamannya, Dale yang memperhatikan dunia bisnis telah mengamati dengan saksama bahwa dunia bisnis adalah suatu hal yang mudah goyah. Perusahaan-perusahaan yang tadinya dianggap tangguh sekarang terguncang, kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik dan energi lainnya, banyak memukul pelaku usaha. Tak terhitung banyaknya perusahaan-perusahaan yang telah punya nama tumbang dan menghilang. Hal semacam itu masih relevan hingga sekarang. Dan bagi kami generasi muda kecepatan perubahan itu membawa kecemasan. Terutama bila perubahan itu semakin doyong ke kiri – ke kanan lalu ambruk.

Saat ini harus diakui bahwa kita berada dalam kondisi yang sangat berat dan sulit, dulu mungkin nenek moyang kita pandai membaca tanda-tanda zaman dengan mencocokkan rasi bintang, bertani untuk memenuhi hidupnya sendiri, mempersiapkan diri bila gagal panen, membuat perencanaan jika datang kemarau panjang, lalu merasa cukup dengan apa yang telah ada. Dulu banyak hal bisa di prediksi. Sekarang?.

Banyaknya ketidakjelasan membuat kita mau tidak mau harus beradaptasi. Kondisi politik, sosial, ekonomi saat ini membuat banyak generasi sekarang merasa pesimis, ditambah drama-drama yang membuat kita tambah apatis, sebenarnya mau dibawa kemana rakyat ini?.

Seminggu lebih ada didesa membawa banyak sekali pelajaran. Dan pelajaran pertama adalah belajar untuk tidak khawatir. Meski TV orang-orang desa itu di bombardir dengan informasi yang rumit kalau tidak mau disebut menyedihkan, tetapi orang-orang desa ini tetap waras, tetap bekerja seolah tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk yang tersaji di televisi. Yang punya sawah sibuk di sawah, yang tiap pagi berjualan di pasar tetap ke pasar, di balik rutinitasnya itu mungkin yang terpikir adalah bahwa kita tidak bisa hidup di masa yang sudah lalu, juga tak mungkin sampai di hari esok tanpa melalui hari ini. Jika yang ada hanya saat ini bukankah lebih baik bersiap-siap untuk hari esok?.

Pelajaran kedua adalah mempercayai hukum-hukum keseimbangan. Perlu waktu beberapa bulan sampai padi menguning, namun sebelum itu ada pekerjaan besar yang harus dilakukan: membajak sawah, mencari sumber air, menyiapkan pupuk dan lumbung. Tak susah menghitung seberapa kerugian jika panen gagal, tidak takut padi habis oleh hama atau harga gabah yang bisa saja turun drastis. Matematika nya tidak rumit: kita tidak usah mengkhawatirkan dengan hal-hal yeng belum atau bahkan tak pernah terjadi. Tetap bekerja, tetap maju, barangkali masalah yang akan muncul tidak separah yang kita bayangkan.

Yang ketiga adalah menerima kenyataan. Kadang panen tidak selalu berhasil, kadang jengkel dengan harga pupuk atau kurangnya sumber air, lebih parah hama menghancurkan segala usaha yang dibangun selama beberapa bulan ini.
Kita tidak selalu bisa menang dalam segala hal, tidak bisa cukup pengetahuan mengenai alam ini. Tetapi sikap menerima apapun yang akan terjadi adalah langkah awal untuk mengatasi konsekuensi dari ketidakberuntungan.

Kadang sesuatu itu tidak terelakan, alternatifnya adalah kekecewaan, namun jika mau berhenti sejenak, mulai menerima semua yang tak terelakan biasanya kita akan punya waktu, energi dan kreativitas untuk memecahkan masalah-masalah yang mungkin timbul.


Ah maafkanlah saya, maksud hati hanya ingin berbagi. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Salam hangat.

Sabtu, 07 Mei 2011

AKAR



Akhirnya menulis lagi! Horeee.

Tidak ada yang lebih melegakan selain ada yang nuntut saya untuk nulis, selain saya juga ingin silaturahim dengan kawan-kawan semua melalui blog ini, berbagi rindu dengan anda semua.

Beberapa bulan belakangan ini memang luar biasa. Banyak hal saya saksikan, dengar dan rasakan sendiri. Betapa cepatnya perubahan, betapa cepatnya waktu dan kadang lupa sudah sampai mana saya berjalan. Sampai di satu titik saya berhenti dan akhirnya benar-benar tidak melakukan apa-apa selain bekerja saja dan bepergian. Dan selalu ada cerita yang menarik. Bagi anda yang suka naik angkutan umum seperti saya ini pasti banyak hal bisa disaksikan. Dari gurauan, marah dan kejengkelan sampai berita-berita gembira yang menyentuh. Ah . Ternyata kejadian sehari-hari juga tidak se membosankan seperti yang saya kira.

Sudah jadi kebiasaan disetiap akhir pekan yang agak panjang saya selalu pulang ke Bandung. Saya sudah jatuh cinta dengan kota ini, mulai dari udaranya yang sejuk, warga nya yang ... , tempat-tempat makan yang enak, areal wisata dan tentu saja teman-teman seperjuangan.

Kaget dengan penampakan diri sendiri di cermin. Ah ternyata saya sudah setua ini! Ada sedikit penyesalan, kenapa waktu berjalan begitu cepat? Tetapi disisi lain saya juga senang, saya sudah menabung usia, bersyukur masih di beri umur dan berharap diberi ilmu yang lebih luas lagi. Mudah-mudahan makin gede makin gampang senyum. Hehe.

Menemukan bahan untuk direnungkan bisa datang dari mana saja, dan dari siapa saja. Dan saya tidak menyangka hal itu datang dari tetangga saya, seorang nenek yang usianya kira-kira 80 tahun.
Ketika sedang duduk-duduk diruang belakang saya bertemu nenek itu. Dia habis merapikan jemurannya, dia menanyakan nama. Ketika saya sebut, beliau kaget dan tertawa ”ah kau sudah sebesar ini, eh nenek minta maap ya kalo dulu suka marah-marah..”
Saya yang merasa engga pernah di marahi cuma bisa angguk-angguk. ”ah ibu gak pernah marahin saya kok”.

Beliau lalu duduk disebelah saya. Beliau cerita tentang anak-anak, cucu dan cicit nya. Sulit menimpali, juga sulit untuk komunikasi dua arah karena beberapa keterbatasan, jadi yang saya lakukan adalah takzim mendengarkan cerita beliau. Ngalor-ngidul dan sulit saya tangkap intinya. Sampai satu saat ceritanya berhenti.
”Saya ingin pulang kerumah ibu saya, sepertinya ia masih ada di kampung” suaranya bergetar dan dalam. Kali ini cerita masa kecilnya yang indah, mengalir dengan lancar dan tenang.

Pulang.

Tiba-tiba saya rada galau mendengar ceritanya. Sudah setua ini tapi beliau ingin pulang bertemu orang tuanya. Sudah setua ini, yang paling lancar diceritakannya adalah masa-masa terbaiknya sebagai kanak-kanak yang bahagia bersama orang tua, saudara dan teman-temannya, nenek ini masih keukeuh ingin pulang!.

Apakah itu pulang? –Kembali kerumah, kembali ke tempat kita berasal, kembali ke akar kita sendiri. Dalam banyak tradisi, perayaan apapun dimanapun sepertinya memang tidak afdol bila tidak pulang kampung. Entah ada apa dibalik pulang kampung ini, dari segi keuangan kita selalu mem budget-i untuk ini yang kadang juga tidak murah. Tetapi kebahagiaan ”pulang” ini memang tidak bisa diukur dengan uang. Tetapi benarkah disaat kita tua seperti nenek tetangga saya itu—keinginan yang terdalam adalah untuk bisa selalu pulang? Benarkah disaat kita tua yang paling diingat adalah saat-saat yang membahagiakan? Di saat tua nanti yang paling diinginkan adalah kembali ke akar kita sendiri? ke saat-saat kita dipertemukan dengan kasih sayang orang tua, saudara dan teman-teman dahulu?.

Jawabannya bisa benar bisa juga salah. Tetapi adalah hal yang wajar bila di satu garis hidup seseorang, ia rindu pulang. Mengapa? Mungkin karena dimasa-masa itulah ia menerima kasih yang tak bersyarat, diterima tanpa syarat dan melimpah. Senakal apapun orangtuanya tetap menyayanginya, seburuk apapun keadaannya teman-temannya tetap menerimanya, semua curahan itu melimpah dan tak ada barcode harga untuk itu.

Benarkah ketika zaman demi zaman berganti semua berubah dan bergeser? lalu adakah yang tidak berubah?

Cinta tanpa syarat?? ah, sudah banyak sekali teori-teori dan ceritanya. Dan kitapun sebenarnya telah tahu dan merasakannya. Begitu sulitnya menjembatani alam materi, alam ego dengan wilayah ini. Padahal banyak sekali diulas bahwa wilayah ini ada di bagian otak kanan yang berhubungan dengan ketidakterbatasan kemungkinan-kemungkinan baik. Beberapa pakar otak kanan bahkan berani mengatakan seiring dengan keseimbangan perkembangan otak kiri dan kanan maka seseorang sedang mengembangkan dirinya menjadi manusia paripurna. Tetapi itu hanyalah teori, mungkin begini parameternya: bila kita mudah simpati dengan orang-orang yang kurang beruntung artinya otak kanan mulai aktif. Bila mulai simpati dan memberi, maka otak kanan sedang berkembang, bila terbiasa memberi dan memberi artinya otak kita sedang bersinkronisasi dengan keberuntungan-keberuntungan!.

Dimasa-masa sekarang katanya siih, sudah rada susah menemukan hal-hal semacam itu (ini pasti saya terpengaruh sinetron yg matanya melotot-melotot itu.. hehe). Katanya apapun selalu terkait dengan transaksi, uang, kemudahan, timbal balik, dsb.

Tetapi hal-hal itu masih ada kok. Mudah ditemukan bila kita sendiri mau memulainya. Dan tentu saja Melaksanakannya..

Ah maafkanlah saya.

sedikit cerita:

Setelah lama berkelana si musafir itu akhirnya sampai juga dirumahnya yang sejati. Lelah, letih, capek, semua sudah direlakan. Didepan pintu rumah Yang Agung dia mengetuk, ”Saya sudah pulang, saya sudah ikhlaskan semua, saya ingin pulang ke rumah, ke tempat Kekasih yang cintanya tanpa batas dan tanpa syarat. Silakan cek, sepanjang perjalanan saya ke rumah ini—saya sudah melakukan hal yang sama, memberi tanpa syarat tanpa pilih-pilih, sekarang izinkanlah saya masuk wahai Kekasih”

Salam Hangat!