Rabu, 29 April 2009

Menang Tapi



Menang Tapi

Sudah takdirnya semua manusia hidup dalam suasana kompetisi. Semenjak masih -maaf – sperma, hanya yang unggul sajalah yang akhirnya berhasil membuahi sel telur. Setelah manusia dilahirkan, tumbuh dan bergaul dalam tatanan masyarakat yang lebih luas maka kompetisi adalah suatu keniscayaan yang akan dialami dalam setiap fase hidupnya. Masuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas/smk, dan sekolah yang lebih tinggi lagi, lalu bekerja maka suasana kompetisi menjadi luarbiasa kentalnya. Seperti menang dan kalah, institusi mengajarkan semua individunya untuk menang dalam hal apapun tapi lupa mengajarkan cara menerima dan bangkit dari kekalahan.

Kompetisi berguna ? sangat ! dalam kadar yang cukup sehat kompetisi melahirkan dan mendorong inovasi dan kreativitas yang ujung-ujungnya mendorong perubahan zaman. Ia menampakkan dunia baru yang sama sekali tak pernah dibayangkan kelak bakal menghiasi dunia, contohnya saja kompetisi dalam bidang teknologi dan bisnis. Bila saja Thomas Alva Edison tidak berpacu dengan dirinya sendiri maka seumur-umur tak akan ada yang namanya lampu, bila Nokia tidak cepat membaca zaman maka selamanya perusahaan itu hanya akan jadi pabrik pengolah kayu dan sepatu booth.

Dan seiring perkembangan kesadaran manusia yang juga sangat menggembirakan, maka semua hal yang tadinya menyakitkan, memalukan dan menggelapkan kini bergeser maknanya. Seperti juga kekalahan yang dulu amat sangat tabu itu kini menampakan wajah asli yang sesungguhnya. Begitu juga kemenangan yang indah itu ternyata tidak selalu seindah kelihatannya.

Beberapa teman menyuruh saya melakukan ”All Counting” saat terpuruk menerima kekalahan. Entah itu untuk membesarkan hati atau cuma ingin menghibur saja. Teman saya itu menjelaskan tentang suatu hukum – saya sendiri baru dengar ada hukum yang namanya begitu- teman saya menamakan ”Hukum Keseimbangan Mutlak”. What ??
Yang Maha Mutlak hanya Allah saja, kemutlakan itu milik Tuhan semesta alam dan diluar itu semuanya serba relatif. Ngga ngeh ? sama !.
Masih kata dia : kompetisi memang wajar dan sudah khitahnya begitu, tapi soal menang dan kalah itu relatif. Yang ada hanyalah kalah tapi.... dan menang tapi...

Rahasianya adalah All Count (semua dihitung). Apa iya kalah telak ? apa benar ada menang telak ? coba lihat lagi kata teman saya itu. Selama beberapa hari dirumahnya saya disuguhi berbagai tontonan DVD yang bila dipilih secara acak dengan mata tertutup pun semua ceritanya mengandung hukum keseimbangan mutlak. Dan saya rasa ini sebutan saja karena ia sering terlihat ada, mendominasi, dan sangat terasa. Namun karena harus di uraikan dengan bahasa tulis ia jadi terdengar ”wah”.

Saya ngga tahu mengapa disuruh nonton DVD, bukannya menjelaskan kondisi real hidup sesungguhnya malah disuruh nonton.

”Tonton sajalah” katanya sambil tersenyum.

Saya memilih film ”The Promise”. Sebuah film korea keluaran tahun 2005 yang dibintangi Cecilia Cheung dan Jang Dong Gung ini bercerita tentang relativitas yang tadi. Karena terus menerus hidup miskin dan hidup bergantung dari belas kasihan orang lain seorang pengemis perempuan cilik rela menukarnya dengan kebahagiaan. ”kau akan makan makanan terenak yang pernah ada di bumi, mengenakan pakaian terindah yang hanya akan dibuat khusus untukmu, dan tinggal dalam kehidupan mewah hanya dengan satu kutukan kecil saja, "Kau tak akan pernah menemukan cinta, sampai air terjun berubah arah dan waktu bisa diputar kembali” begitu tawaran dewi Mayshen padanya. Dan benar saja tujuh belas tahun kemudian ia telah menjelma menjadi seorang permaisuri raja yang glamor, hanya saja ia tak bahagia !. Ah sementara ia kerap melihat semua orang bahagia setelah menmukan cinta walau sesulit apa keadaannya. Nah disini letak menang relatifnya ia menang menjadi permaisuri yang glamor.. dan kalah relatifnya adalah tak pernah menemukan cinta. Lalu bagaimana ? apakah air terjun bisa mengalir mundur dan waktu bisa diputar ulang ? well jangan khawatir film ini happy ending.

Film kedua sengaja dipilih ”City of Angel”. Film keluaran medio tahun 90 an dibintangi oleh Meg Ryan dan Nicholas Cage. Bercerita tentang seorang malaikat yang selalu berbahagia menuntun kesadaran manusia. Mengiringi semua apapun yang dilakukan manusia, berada di alam ketenangan, kedamaian abadi, yang notabene merupakan impian terdalam manusia.

Saat malaikat melihat kehidupan manusia timbul keingin-tahuannya, godaan terpaan angin pagi, deru ombak laut, kehangatan cahaya matahari, beragam pilihan menjalani hidup, dan yang paling penting : hati yang tengah mencintai. Hal-hal itu membuatnya memutuskan untuk hidup sebagai manusia biasa. Tapi sementara disisi lain (dunia) manusia sering dibuat iri pada kedamaian, ketenangan hidup dan kebahagiaan yang tanpa harus banyak bertanya apa dan kenapa. Kita tak henti-hentinya mengejar semua itu tapi yang ada malah kebalikannya.

Disisi ini kita melihat dua dunia yang saling berkaca-kaca. Manusia melihat malaikat serba indah, damai, nyaman, sempurna, penuh welas asih. Sedang malaikat dalam cerita itu melihat manusia sebagai sosok makhluk yang memiliki free will (kebebasan untuk memilih), menjejak langkah, mencecap segala keindahan versi mereka sendiri. Sungguh aneh, bahkan apa yang sempurna dimata kita tidak selalu dilihat sama oleh orang lain.

Cerita berlanjut, setelah menjatuhkan diri dari gedung yang amat tinggi kini sang malaikat hidup sebagai manusia biasa. Merasakan semua emosi, rasa sakit, dan juga menemukan cinta. Tapi ia belum belajar satu hal : kebahagiaan manusia itu tak pernah kekal. Maka sekarang hukum fana itu berlaku juga pada dirinya. Hanya sehari mereguk bahagia bersama sang kekasih, beberapa jam kemudian kekasih itu tewas dalam kecelakaan. Sekarang ia terpuruk pada rasa sepi dan kesendirian yang menyakitkan. Perjalanannya sebagai manusia seakan menuju ke kesenyapan, cinta dan kebahagiaan sekarang tersimpan di tempat yang hening. Saat itu dia menyadari satu hal : tak ada lagi yang harus disesali, semua keputusannya menjadi manusia biasa adalah freewill yang yang tak akan pernah disesalinya.

Dipagi buta yang sejuk saat para malaikat -yang dulu teman-temannya- berkumpul untuk memberkati hari ia memutuskan sesuatu untuk hidupnya : hari ini ombak masih ada ! saatnya melanjutkan hidup .
Sampai subtitle film itu selesai, sampai soundtrak lagu-lagu indah itu usai saya masih dibuat tercenung. Ah tak ada yang mutlak. Tak ada yang abadi, bahkan bahagia dalam perkara semisal memenangkan kompetisi itupun buat saya jadi tampak samar.

Jika pembandingnya adalah bahagia, maka dalam setiap kemenangan atau kekalahanpun selalu ada tempelan embel-embel di belakangnya : Tapi.
Saya memang menang, tapi...
Saya mungkin kalah tapi...

Jika perjalanan hidup memang sekadar menemukan sudut pandang, lantas adakah kehidupan manusia yang mutlak sempurna ?
Adakah kehidupan yang tak seimbang ?

Lihat saja sekali lagi !!

Kamis, 16 April 2009

Inner Strength



Facebook yang gila-gilaan. Saya keranjingan situs jejaring sosial itu akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, meski secara fisik tidak bertemu tapi saya masih bisa ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman semasa sekolah yang dulu suka kabur bareng menghindari jam pelajaran tertentu, rasanya menyenangkan menimpali komen komen yang masuk. Yah meski sebenernya banyak yang gak penting dibahas tapi itu mendekatkan kami kembali, its great!.

Dan semua berubah.

Hampir sepuluh tahun. Para tukang kabur itu kini banyak yang sholeh, kecuali saya mungkin -hahaha- selama sepuluh tahun itu pula kami tak tahu kabar masing-masing, maklumlah teknologi selular dulu masih mahal. Dan saya dibuat tercengang oleh para teman, adik-adik kelas dan para sahabat saya sekarang. Ada yang sudah jadi ayah atau ibu, bidang pekerjaannya pun selain berlainan juga jorok. Maksud joroknya adalah menjelajah kemana-mana. Bolak-balik ke Singapura, magang di Jepang, rapat di New York, tiga bulan sekali harus ke Australia, presentasi di Manila, dua minggu di Hanoy, setengah bulan di Cape town. Gila ! buat saya gila karena semasa kami sekolah dulu saya tak bisa melihat akan sejauh ini.

Kami lulus pas jaman krisis, dua tahun kejatuhan orde baru semua serba tak pasti. Hampir tak ada jalan. Saya ingat di lantai dua ruang praktek kami sering membicarakan apa saja kecuali masa depan, karena masing-masing dari kami tak tahu apa yang akan terjadi. Bila guru-guru kami membicarakan pekerjaan, maka kebanyakan kami menerawang kemana kira-kira akan kami pergi. Lalu semua buyar tanpa bekas.

Ternyata krisis bukan jaminan kami tidak bisa meneruskan hidup, krisis bukan penghalang kemana kami harus pergi, menapaki jalan yang sama sekali baru dan asing, tak ada siapa-siapa, bahkan tanpa direncanakan perjalanan sejauh ini. Yang ada hanya menjalani. Lalu dimana keberanian itu muncul ?.

Meninggalkan rumah, bekerja, menghadapi kehidupan baru sambil menjalaninya bertumbuh. Saya tahu semua pada awalnya sangat sulit bahkan tak jarang sekarangpun masih tetap saja menemui kesulitan tapi kebanyakan tak menyerah. Malah merangsek maju dan melewati kesulitan. Dari mana keberanian itu muncul ?.

Mengagumkan jika mendengarkan ceritanya. Beberapa teman berani, karena percaya hal ini : perjalanan jauh berkilo-kilo meter itu dimulai dari langkah pertama. Beberapa teman meyakini bahwa satu-satunya hal yang paling disesali nanti adalah karena sesuatu yang tak coba dilakukan. Dan yang lainnya berani karena satu-satunya cara untuk berhasil adalah mempertaruhkan segalanya termasuk melangkah dari zona aman ke zona yang tidak diketahui rimbanya.

Seorang teman terinspirasi oleh tabiat elang laut : saat akan ada badai dimana makhluk lain menyingkir menghindar maka sang elang malah terbang tinggi melewati badai. Semua untuk harapan. Sebuah harapan untuk hidup yang lebih baik.

Ah situasi krisis yang menakutkan itu ternyata memiliki efek yang sama dengan situasi yang menunjukan kekuatan kita yang sebenarnya, inner strength !. ternyata malam yang luarbiasa gelap dan menakutkan itu hanya menunjukan kalau pagi akan segera tiba. Yah ternyata krisis pun berguna. Ia hanya menunjukan bahwa kita harus lebih berani, bila berhasil melewatinya tak diragukan bahwa semua akan memperkaya kehidupan kita.

Masih takut ? oh ya haruskah ?

Kamis, 02 April 2009

PS: Ditunggu Segera !



Teman saya di facebook bilang : ”pemilu sekarang "binun" ya milih mo contreng yang mana, gak ada yang mau jadi nomer dua, semua nomer satu ”. Ya memang membingungkan, beberapa minggu belakangan ini politik menjadi eforia yang mau tak mau di alami semua orang. Ratusan banner dengan foto caleg dari yang cakep dan dibikin blur supaya kelihatan terpaksa cakep plus sholeh, tampak jelas terpampang di jalan-jalan utama. Debat partai tampak saling bertolak belakang, beberapa malah saling berbalas pantun, ada partai memprotes program pemerintahan yang sekarang, sampe ketua umumnya nangis2, eeh sekarang malah bikin iklan besar2 mendukung program itu. Ampun DJ !. Benar-benar tidak mendidik, anak2 muda yang masih sehat pikirnya bisa dibuat alergi politik oleh perilaku generasi tua yang tidak kunjung sadar.

Sekarang mau milih juga gamang. Gamang pada perubahan yang mungkin terjadi tapi lebih nestapa pada perubahan yang malah memerosotkan dompet semua orang. Masalahnya, hidup di dunia yang nyata ini sederhana saja. Sejalan dengan teori Maslow. Pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan, aktualisasi diri. Tapi berkaca pada kehidupan saya sendiri, boro2 aktualisasi diri untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar itu saja harus pencet sana, pencet sini.

Untuk tidak memilih kok ya rasanya punya utang. Utang pada nenek2 renta yang masih berkeliaran dijalan menjajakan dagangan ataupun mengemis, utang pada para pengamen kecil yang belum punya hak pilih. Mereka menitipkan suaranya pada kita. Berharap kita menjadi mata bagi yang belum melihat, jadi kekuatan bagi yang saatnya melemah. Mereka menitipkan harapan untuk kehidupan yang lebih baik.

Kepemimpinan adalah bahasan menarik yang tak pernah ada habisnya. Ratusan judul buku mengenai kepemimpinan di bahas panjang lebar, teorinya dipaparkan sangat menarik, semua tampak ideal, untuk apa ? untuk melahirkan pemimpin baru yang di cintai, pemimpin yang memiliki ratusan juta tangan yang tak kelihatan untuk mampu mengatasi segala macam permasalahan hidup.
Tapi seperti juga tulisan ini dan banyak tulisan lain, ada hal-hal yang tidak bisa disampaikan oleh buku atau bahasa tulis. Sesuatu yang harus di alami sendiri, sesuatu yang apabila disampaikan melalui media tutur kata –kepemimpinan- hanya akan menjadi mentah.

Kepemimpinan juga berarti ”mengalami” –menjadi- pemimpin. Ya, meski pengalaman bukan segalanya tapi banyak hal, hanya bisa diketahui setelah mengalaminya. Teori ber arung jeram itu tumpah ruah di internet, tapi bila tidak dialami semua teori2 itu akan sia-sia.

Betapa tidak mudahnya memimpin. Di beberapa negara kita lihat politik seperti tornado yang mencerabut seluruh tatanan hidup yang di buat bertahun-tahun, dan imbas jelek nya selalu tumpah pada yang lemah atau yang dilemahkan. Beberapa negara mengalami peralihan kekuasaan yang sangat keras. Rakyatnya dipaksa melihat segala realitas diatas kesulitan yang bertambah-tambah. Di bagian benua Afrika, ada negara yang rakyatnya bisa benar-benar habis karena perang saudara yang berkepanjangan. Untuk apa ? untuk ego, untuk power yang rasanya manis itu, untuk uang tujuh turunan, untuk pengakuan, untuk hal lain yang berada diluar kemampuan kita mengetahuinya.

Adakah pemimpin yang sukses ? tentu ada. Para pemimpin pendahulu yang berhasil jadi pemimpin negara biasanya terlebih dahulu berhasil menjadi pemimpin agama. Seperti lebah yang mengambil inti sari segala kebaikan bunga, lalu di dalam dirinya semua sari bunga itu diolah dalam bentuk madu yang siap di bagikan pada siapapun yang membutuhkan tanpa memandang segala status, keyakinan dan segala batas lainnya. Dengan kata lain ia berhasil mengejawantahkan inti sari dari keyakinan nya ke dalam keseharian kepemimpinan yang di emban nya saat itu.

Melalui biografinya kita lihat bahwa kepemimpinan itu kebanyakan dari hidupnya adalah service. Seseorang yang memimpin ialah seseorang yang men-service rakyatnya, ia meledak hebat karena motif nya mempertahankan diri bergeser menjadi melayani masyarakat, ia jadi wakil Tuhan dalam hal kewenangannya yang luarbiasa. Pernah dengar seorang pemimpin yang menaklukan hampir separuh dunia dan bertahan dalam kurun waktu yang lama ? ya seorang pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Ia yang kita shalawati sepanjang hari.

Lalu sekarang bagaimana? Pemimpin seperti itu tidak dilahirkan sekali dalam seribu tahun. Pemimpin seperti itu privilege nya yang Maha Kuasa, kapan akan turun atau di turunkan mengurusi dunia adalah rahasia besar. Alih-alih menunggu Tuhan, menurunkan pemimpin dari langit lebih baik kita mencarinya sendiri. Dengan keyakinan bahwa dari para calon pemimpin itu, Tuhan menyelipkan satu dua orang yang akan membuat rakyat negeri ini jauh lebih baik.

Dan alih-alih alergi pada politik, bukankah sebaiknya para generasi muda yang melihat apa yang terjadi sekarang menjadikannya sebagai pelajaran agar hal seperti itu tak pernah terjadi lagi di masa depan. Jalan menuju kepemimpinan yang hebat tentu tidak mudah, tak akan ada kalungan bunga, resiko gagal nya selalu lebih besar. Tapi jika niatnya baik, anda akan di doakan oleh kami-kami yang lemah, di dampingi mereka yang bijak, dan dilindungi oleh tangan-tangan lain yang lebih kuat dari pada landasan-landasan langit dan bumi.

Di tunggu segera kemunculannya !