Sabtu, 07 Mei 2011

AKAR



Akhirnya menulis lagi! Horeee.

Tidak ada yang lebih melegakan selain ada yang nuntut saya untuk nulis, selain saya juga ingin silaturahim dengan kawan-kawan semua melalui blog ini, berbagi rindu dengan anda semua.

Beberapa bulan belakangan ini memang luar biasa. Banyak hal saya saksikan, dengar dan rasakan sendiri. Betapa cepatnya perubahan, betapa cepatnya waktu dan kadang lupa sudah sampai mana saya berjalan. Sampai di satu titik saya berhenti dan akhirnya benar-benar tidak melakukan apa-apa selain bekerja saja dan bepergian. Dan selalu ada cerita yang menarik. Bagi anda yang suka naik angkutan umum seperti saya ini pasti banyak hal bisa disaksikan. Dari gurauan, marah dan kejengkelan sampai berita-berita gembira yang menyentuh. Ah . Ternyata kejadian sehari-hari juga tidak se membosankan seperti yang saya kira.

Sudah jadi kebiasaan disetiap akhir pekan yang agak panjang saya selalu pulang ke Bandung. Saya sudah jatuh cinta dengan kota ini, mulai dari udaranya yang sejuk, warga nya yang ... , tempat-tempat makan yang enak, areal wisata dan tentu saja teman-teman seperjuangan.

Kaget dengan penampakan diri sendiri di cermin. Ah ternyata saya sudah setua ini! Ada sedikit penyesalan, kenapa waktu berjalan begitu cepat? Tetapi disisi lain saya juga senang, saya sudah menabung usia, bersyukur masih di beri umur dan berharap diberi ilmu yang lebih luas lagi. Mudah-mudahan makin gede makin gampang senyum. Hehe.

Menemukan bahan untuk direnungkan bisa datang dari mana saja, dan dari siapa saja. Dan saya tidak menyangka hal itu datang dari tetangga saya, seorang nenek yang usianya kira-kira 80 tahun.
Ketika sedang duduk-duduk diruang belakang saya bertemu nenek itu. Dia habis merapikan jemurannya, dia menanyakan nama. Ketika saya sebut, beliau kaget dan tertawa ”ah kau sudah sebesar ini, eh nenek minta maap ya kalo dulu suka marah-marah..”
Saya yang merasa engga pernah di marahi cuma bisa angguk-angguk. ”ah ibu gak pernah marahin saya kok”.

Beliau lalu duduk disebelah saya. Beliau cerita tentang anak-anak, cucu dan cicit nya. Sulit menimpali, juga sulit untuk komunikasi dua arah karena beberapa keterbatasan, jadi yang saya lakukan adalah takzim mendengarkan cerita beliau. Ngalor-ngidul dan sulit saya tangkap intinya. Sampai satu saat ceritanya berhenti.
”Saya ingin pulang kerumah ibu saya, sepertinya ia masih ada di kampung” suaranya bergetar dan dalam. Kali ini cerita masa kecilnya yang indah, mengalir dengan lancar dan tenang.

Pulang.

Tiba-tiba saya rada galau mendengar ceritanya. Sudah setua ini tapi beliau ingin pulang bertemu orang tuanya. Sudah setua ini, yang paling lancar diceritakannya adalah masa-masa terbaiknya sebagai kanak-kanak yang bahagia bersama orang tua, saudara dan teman-temannya, nenek ini masih keukeuh ingin pulang!.

Apakah itu pulang? –Kembali kerumah, kembali ke tempat kita berasal, kembali ke akar kita sendiri. Dalam banyak tradisi, perayaan apapun dimanapun sepertinya memang tidak afdol bila tidak pulang kampung. Entah ada apa dibalik pulang kampung ini, dari segi keuangan kita selalu mem budget-i untuk ini yang kadang juga tidak murah. Tetapi kebahagiaan ”pulang” ini memang tidak bisa diukur dengan uang. Tetapi benarkah disaat kita tua seperti nenek tetangga saya itu—keinginan yang terdalam adalah untuk bisa selalu pulang? Benarkah disaat kita tua yang paling diingat adalah saat-saat yang membahagiakan? Di saat tua nanti yang paling diinginkan adalah kembali ke akar kita sendiri? ke saat-saat kita dipertemukan dengan kasih sayang orang tua, saudara dan teman-teman dahulu?.

Jawabannya bisa benar bisa juga salah. Tetapi adalah hal yang wajar bila di satu garis hidup seseorang, ia rindu pulang. Mengapa? Mungkin karena dimasa-masa itulah ia menerima kasih yang tak bersyarat, diterima tanpa syarat dan melimpah. Senakal apapun orangtuanya tetap menyayanginya, seburuk apapun keadaannya teman-temannya tetap menerimanya, semua curahan itu melimpah dan tak ada barcode harga untuk itu.

Benarkah ketika zaman demi zaman berganti semua berubah dan bergeser? lalu adakah yang tidak berubah?

Cinta tanpa syarat?? ah, sudah banyak sekali teori-teori dan ceritanya. Dan kitapun sebenarnya telah tahu dan merasakannya. Begitu sulitnya menjembatani alam materi, alam ego dengan wilayah ini. Padahal banyak sekali diulas bahwa wilayah ini ada di bagian otak kanan yang berhubungan dengan ketidakterbatasan kemungkinan-kemungkinan baik. Beberapa pakar otak kanan bahkan berani mengatakan seiring dengan keseimbangan perkembangan otak kiri dan kanan maka seseorang sedang mengembangkan dirinya menjadi manusia paripurna. Tetapi itu hanyalah teori, mungkin begini parameternya: bila kita mudah simpati dengan orang-orang yang kurang beruntung artinya otak kanan mulai aktif. Bila mulai simpati dan memberi, maka otak kanan sedang berkembang, bila terbiasa memberi dan memberi artinya otak kita sedang bersinkronisasi dengan keberuntungan-keberuntungan!.

Dimasa-masa sekarang katanya siih, sudah rada susah menemukan hal-hal semacam itu (ini pasti saya terpengaruh sinetron yg matanya melotot-melotot itu.. hehe). Katanya apapun selalu terkait dengan transaksi, uang, kemudahan, timbal balik, dsb.

Tetapi hal-hal itu masih ada kok. Mudah ditemukan bila kita sendiri mau memulainya. Dan tentu saja Melaksanakannya..

Ah maafkanlah saya.

sedikit cerita:

Setelah lama berkelana si musafir itu akhirnya sampai juga dirumahnya yang sejati. Lelah, letih, capek, semua sudah direlakan. Didepan pintu rumah Yang Agung dia mengetuk, ”Saya sudah pulang, saya sudah ikhlaskan semua, saya ingin pulang ke rumah, ke tempat Kekasih yang cintanya tanpa batas dan tanpa syarat. Silakan cek, sepanjang perjalanan saya ke rumah ini—saya sudah melakukan hal yang sama, memberi tanpa syarat tanpa pilih-pilih, sekarang izinkanlah saya masuk wahai Kekasih”

Salam Hangat!