Senin, 01 Agustus 2011

Yin-Yang



Paling susah kalau sudah ditanya tentang masa depan.
Pertama saya bukan seorang clairvoyance yang bisa nerawang jauh kedepan, yang kedua pertanyaan serupa sering terlontar di benak saya dan belum punya jawaban yang memuaskan.

Beberapa waktu lalu ketika sedang melakukan perjalanan yang cukup jauh, teman duduk saya adalah seorang mahasiswa semester dua. Sebut saja Yudha, berasal dari Bandung. Yudha galau berat. Cita-cita setelah lulus adalah bekerja. Jika sudah bekerja ingin mandiri, dan ingin sekali memberikan sesuatu buat kedua orang tuanya. Setelah ngobrol banyak akhirnya nanya:
”Apakah pasar tenaga kerja di Indonesia masih banyak kang?”
”Gimana kalo saya kesana-kesini, tetep gak dapet kerja?”
”Apa cita-cita saya akan kesampaian?”
Dan saya pun nyengir.

Bingung bagaimana jawabnya.
”Lha bukannya orangtua mu berkecukupan? Kenapa masih galau?” pancing saya.
”Yah, itu kan orang tua saya kang. Saya pengen mandiri, sudah gak mau ngerepotin lagi”
Mengagumkan buat saya (Diusia semuda itu menjawab seperti itu, bahkan lulus saja belum).

Dan karena tidak mau membuatnya kecil hati, akhirnya pertanyaan-pertanyaan tadi saya jawab juga. Bahwa sekarang Yudha baru tingkat dua, itu artinya perlu sekitar dua-tiga tahun lagi untuk lulus, pada saat itu ekonomi negara kita pasti sudah melesat tajam, saya paparkan bahwa sekarang saja menurut BPS pertumbuhan ekonomi hampir mencapai enam persen, di saat negara-negara lain minus pertumbuhan. Jadi saat dia lulus mungkin pertumbuhan ekonomi negara kita akan mencapai tujuh atau delapan persen itu artinya tak ada yang harus dikhawatirkan lagi. Saat itu Yudha mengangguk-angguk tanda mengerti. Dalam hati saya lalu mengamini, semoga saja hal itu benar adanya.

Dan karena tidak mau meramal-ramal lagi, topiknya saya alihkan ke yang lainnya. Selanjutnya ia bercerita tentang kegiatannya sehari-hari.

Memulai Hidup
Saya tentu saja pernah/sering ada diposisi Yudha. Melihat perkembangan sekarang yang berubah dengan cepat, pastilah menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran. Banyak pertanyaan, apakah semua akan membaik? Bagaimana bila semua malah memburuk? dan sebagainya.

Dalam bukunya ”The Leader In You”, Dale Carnegie memaparkan tentang bagaimana sebuah perubahan selalu disertai dengan kecemasan pada manusia. Di jamannya, Dale yang memperhatikan dunia bisnis telah mengamati dengan saksama bahwa dunia bisnis adalah suatu hal yang mudah goyah. Perusahaan-perusahaan yang tadinya dianggap tangguh sekarang terguncang, kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik dan energi lainnya, banyak memukul pelaku usaha. Tak terhitung banyaknya perusahaan-perusahaan yang telah punya nama tumbang dan menghilang. Hal semacam itu masih relevan hingga sekarang. Dan bagi kami generasi muda kecepatan perubahan itu membawa kecemasan. Terutama bila perubahan itu semakin doyong ke kiri – ke kanan lalu ambruk.

Saat ini harus diakui bahwa kita berada dalam kondisi yang sangat berat dan sulit, dulu mungkin nenek moyang kita pandai membaca tanda-tanda zaman dengan mencocokkan rasi bintang, bertani untuk memenuhi hidupnya sendiri, mempersiapkan diri bila gagal panen, membuat perencanaan jika datang kemarau panjang, lalu merasa cukup dengan apa yang telah ada. Dulu banyak hal bisa di prediksi. Sekarang?.

Banyaknya ketidakjelasan membuat kita mau tidak mau harus beradaptasi. Kondisi politik, sosial, ekonomi saat ini membuat banyak generasi sekarang merasa pesimis, ditambah drama-drama yang membuat kita tambah apatis, sebenarnya mau dibawa kemana rakyat ini?.

Seminggu lebih ada didesa membawa banyak sekali pelajaran. Dan pelajaran pertama adalah belajar untuk tidak khawatir. Meski TV orang-orang desa itu di bombardir dengan informasi yang rumit kalau tidak mau disebut menyedihkan, tetapi orang-orang desa ini tetap waras, tetap bekerja seolah tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk yang tersaji di televisi. Yang punya sawah sibuk di sawah, yang tiap pagi berjualan di pasar tetap ke pasar, di balik rutinitasnya itu mungkin yang terpikir adalah bahwa kita tidak bisa hidup di masa yang sudah lalu, juga tak mungkin sampai di hari esok tanpa melalui hari ini. Jika yang ada hanya saat ini bukankah lebih baik bersiap-siap untuk hari esok?.

Pelajaran kedua adalah mempercayai hukum-hukum keseimbangan. Perlu waktu beberapa bulan sampai padi menguning, namun sebelum itu ada pekerjaan besar yang harus dilakukan: membajak sawah, mencari sumber air, menyiapkan pupuk dan lumbung. Tak susah menghitung seberapa kerugian jika panen gagal, tidak takut padi habis oleh hama atau harga gabah yang bisa saja turun drastis. Matematika nya tidak rumit: kita tidak usah mengkhawatirkan dengan hal-hal yeng belum atau bahkan tak pernah terjadi. Tetap bekerja, tetap maju, barangkali masalah yang akan muncul tidak separah yang kita bayangkan.

Yang ketiga adalah menerima kenyataan. Kadang panen tidak selalu berhasil, kadang jengkel dengan harga pupuk atau kurangnya sumber air, lebih parah hama menghancurkan segala usaha yang dibangun selama beberapa bulan ini.
Kita tidak selalu bisa menang dalam segala hal, tidak bisa cukup pengetahuan mengenai alam ini. Tetapi sikap menerima apapun yang akan terjadi adalah langkah awal untuk mengatasi konsekuensi dari ketidakberuntungan.

Kadang sesuatu itu tidak terelakan, alternatifnya adalah kekecewaan, namun jika mau berhenti sejenak, mulai menerima semua yang tak terelakan biasanya kita akan punya waktu, energi dan kreativitas untuk memecahkan masalah-masalah yang mungkin timbul.


Ah maafkanlah saya, maksud hati hanya ingin berbagi. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Salam hangat.