Selasa, 17 Agustus 2010

SOKA



Entah ada gunanya atau tidak, saya menceritakan ini. Tetapi saya berharap sedikit banyak memiliki manfaat. Cerita ini saya dapat dari tangan pertama. Cerita teman saya, Soka, sebut saja demikian. Dan saya mendapat ijin dari dia untuk menuliskannya.

Puasa ini mungkin puasa yang paling berkesan buatnya. Bukan karena dapat bonus besar, bukan karena tender besar yang dimenangkannya minggu lalu, tetapi kemenangan lain yang membuatnya merasa sangat bermanfaat sebagai manusia.

Siang itu dia sedang membereskan beberapa file kerjanya, dan tak sabar bercerita:
”Saya sedang bepergian, untuk suatu urusan. Bis saat itu tidak terlalu penuh, demi kenyamanan dan pemandangan, saya memilih duduk didepan. Teman duduk sebelah saya adalah seorang bapak yang tidak terlalu tua. Berbaju kemeja putih tipis dengan motif kartun, celana jean hitam dan sandal jepit hijau yang jelek. Mukanya tirus, gerakannya kikuk.”
”Saya menawarinya koran baru, bapak itu tersenyum saja. Saya bertanya basa-basi dari mana hendak kemana. Dia dari Aceh dan hendak menemui keluarganya di kota X. Suaranya kurang jelas terdengar, jadi saya hanya membaca gerak bibir dan mimik mukanya. Tidak banyak yang saya dapat karena bapak itu bercerita dengan gelisah, sepertinya sedang stress, dan selanjutnya saya lebih memilih mendengarkan mp3 saja dari pada ngobrol tidak jelas. Ketika membuka HP, bapak itu mengeluarkan secarik kertas bekas sobekan bungkus rokok dari sakunya, dan menunjuk ke sebuah nomor selular. "Tolong sms kan anak saya, saya tidak bisa pulang. Terima kasih ya!.”

”Kau tahu! setelah di sms itu anaknya bapak itu mengirim balasan, meminta lokasi kami sekarang, aku mulai kesal. Mana anaknya nelpon beberapa kali dan selama beberapa kali itu pula bapak itu menolak menerima telpon itu, saya benar-benar kesal dengan keduanya. Saya cuma penumpang yang kebetulan duduk bersebelahan dengannya, aku ingin duduk tenang dan tak harus terlibat urusan keluarga orang lain. Aku tidak menggubrisnya. Aku hampir marah sekali”
” Tetapi sms yang terakhir ini membuat aku luluh, anaknya bercerita bahwa bapak itu sudah lama sekali meninggalkan rumah. Keluarganya khawatir dan sedang menangis saat itu. Dalam kepala saya yang penuh itung-itungan tentang berapa banyak sms dan pulsa yang terbuang untuk orang yang tidak aku kenal!, dan waktuku yang seharusnya bisa kugunakan untuk istirahat!. Dan tiba-tiba menyesal kenapa harus duduk di depan!. Tetapi lama-kelamaan hati ku tidak tega. Bapak itu harusnya bersama dengan keluarganya, setidaknya dia tidak berkeliaran di jalan. Akhirnya aku sms balik anak bapak itu, bahwa aku bersedia membantu semampuku. Anak itu mengucapkan terima kasih dan mengatakan semoga Allah membalas kebaikanku. Aku tidak memperdulikan sms semacam itu. Aku ragu dengan situasi seperti ini, benarkah ini ? . Aku tidak mengenal mereka, aku tidak harus terlibat atau melibatkan diri, dalam pikiranku yang itung-itungan itupun sempat berpikir bagaimana kalau ini model penipuan terbaru. Atau yang terburuk bapak ini masuk DPO organisasi tertentu dan mungkin saja jadi korban atau pelaku perbuatan yang buruk. Pikiranku tidak bisa diam saat itu, tetapi aku putuskan, bila memang betul apa yang dikatakan lewat sms itu, itu akan membuatku tenang tetapi bila tidak maka saya sudah siap lapor polisi.”

”Sepanjang jalan, bapak itu memperhatikan ku terus. Dia sudah bilang jangan membalas telpon atau sms dari anaknya. Saya bikin silent HP itu dan tetap berhubungan melalui sms- tanpa sepengetahuannya-. Anak itu akan menjemputnya di stasiun segera setelah bis kami sampai. Dan aku terus memberitahukan mereka lokasi kami. Di sepanjang jalan tol pikiranku berbicara sendiri. Tuhan, aku ini orang yang naif. Aku sering menyesal bahwa itu sering kali dimanfaatkan. Dan aku sedang berusaha untuk tidak terlalu peduli sekarang. Bahkan apa yang aku pikir, kebaikan dalam kenyataannya datang dalam bentuknya yang paling buruk. Tuhan benarkah bapak ini sedang stress berat dan kabur dari rumahnya? Sebuah suara naif segera terdengar, ”dia duduk disebelahmu bukan kebetulan, duduk disebelahmu- karena dengan begitu dia mendapatkan solusi atas masalahnya”. Aku mencibir suara naif itu, aku mengejeknya. Tidak mungkin! Ini cuma drama! Kenyataan tidak selalu seperti itu. Jadi diamlah.”

”Kau bisa membantunya, sampai yakin dia berada bersama keluarganya atau kau bisa segera turun dan melupakan bapak itu!.”

”Aku tahu aku harus memutuskan sesuatu. Akhirnya aku memutuskan untuk melihat siapa yang menjemputnya. Bila wajahnya meyakinkan aku akan serahkan bapak itu, tetapi bila tidak aku akan lapor polisi secepatnya.mudah-mudahan kali ini intuisiku benar”
”Jam demi jam berlalu, aku sungguh tidak tidur. Aku terus mengawasi gerak-gerik bapak ini, karena di setiap pemberhentian dia selalu ingin turun, matanya selalu tertuju ke arah pintu. Selain itu karena dia juga mengoceh terus tak karuan. Dan setiap bergerak itu aku memperhatikannya, tanganku akan siap mencegahnya bila dia nekad turun sembarangan. Akhirnya kami sampai juga di kota tujuan. Bis berhenti dilampu merah. Kami sudah sampai Tol, segera aku kirim sms untuk segera menyusulnya. Tidak ada tanda-tanda penjemputan, pikiranku mulai berbicara lagi, bahwa aku terlalu naif untuk percaya kepada seseorang meskipun mungkin dia membutuhkan bantuanku, aku mulai menyesal kenapa selalu dipermainkan keadaan. Aku pasrah saja dan bersiap-siap turun. Beberapa menit kemudian sebuah motor bebek mengikuti kami dan tiba-tiba berhenti tepat di pintu bis. Seorang perempuan muda melambaikan tangan dan berteriak-teriak dari luar "Itu bapak saya! Itu bapak saya.. pak! Pak! Ini Yeni, Yeni pak!". Wajah perempuan itu tampak khawatir, saat itu saya yakin dia pastilah keluarganya. Kondektur bis berbicara sebentar dan membuka kan pintu sementara bapak itu tampak bingung. Perempuan itu mencium tangannya, keduanya tampak bahagia, -meski raut bingung bapaknya tidak hilang-. Perempuan itu lalu menaikan bapak nya ke motor bebek dan langsung melaju. Aku sangat lega, juga haru. Benarkah ini?.

Aku terdiam. Untuk sesaat pikiranku berhenti sementara suara itu terdengar lagi. ”Itu berkat kau! Kau boleh sinis tetapi kau tahu, kau berperan mempertemukan ayah-anak itu” Suara sialan itu tertawa kencang sekali sampai-sampai aku mual. Beberapa hari bila aku merenungkan kejadian itu aku menemukan ketentraman didalamnya, apakah aku yang membantu bapak itu atau ??.”

” Untuk pertama kalinya aku pun merasa bahagia yang utuh, aku berhasil membuktikan bahwa aku menolong orang lain dengan tuntas. Tidak setengah-setengah seperti yang biasa kulakukan selama ini, aku merasa percaya diriku meningkat sekarang”. Katanya berapi-api menutup ceritanya.

”Kita bisa menjadi penentu kebahagiaan orang lain atau sumber kesedihan disaat yang sama” katanya lagi.

”Menurutmu bagaimana?”