Selasa, 16 Maret 2010

Rumput




Entah kenapa waktu sekolah dulu, saya memilih kegiatan ekstrakulikuler karate Kei shin kan. Muridnya sedikit, paling banter mungkin sebelas, kalo full bisa tujuh belas murid dengan tambahan dua murid dari luar.

Bisa jadi karena waktunya fleksibel, jadi kalo pas mata pelajaran gambar yang mengerikan itu di bekali pe-er yang lumayan banyak, njelimet dan tak bisa dipecahkan dengan metode titik-titik atau metode lampu neon sekalipun, maka kita bisa izin ke simpay (kakak, pelatih dojo) untuk absen hari itu. Hmm, atau bisa jadi situasi ekskul karate ini memang mendukung saya supaya lebih kuat secara fisik dan mental. Maksudnya jika ada yang berani memalak saya didepan sekolah, tinggal saya siapkan mental saja untuk mengadukan si pemalak ke para simpay dan teman-teman, dan reaksi yang saya harapkan adalah orang yang memalak saya kemarin itu sudah babak belur, sudah tak mau lagi memalak siapapun alias kapok.
Dan syukurlah sampai saya lulus saya tak pernah dipalak orang.

Latihan ya latihan saja, belajar mukul, belajar nendang, belajar keserasian gerakan ”Kata”, dan masih banyak lagi. Tiap naik tingkat pasti babak belur, kaki keseleo, dada biru-biru karena ada pertandingan teknik perkelahian, tentu saja lawannya juga yang seimbang, satu warna sabuk. Parem kocok dan beras kencur sudah tersedia kalo pulang ke rumah. Well, meski keseleo, dada biru-biru, tangan bengkak tapi pengalaman itu sungguh berarti.

Karena sering ikut latihan antar dojo, beberapa kali nonton, mengamati (jiahhh) pertandingan karate, sedikit banyak saya tahu karakter ”pengemban” sabuk-sabuk ini. Makin ke atas, makin tinggi tingkatan sabuknya, maka teknik-tekniknya makin hebat, bagaimana membanting lawan tanpa harus Bukk ! membuat tubuh lawan berderak keras ke tanah tapi beberapa senti dari tanah, tubuh lawan ditahan dan dijatuhkan dengan indah tanpa rasa sakit yang berarti ! (wess), lalu tendangan-tendangan kearah pelipis lawan dengan tingkat akurasi sekitar tiga atau lima senti meter tanpa harus menyentuh betulan, dan wasit tahu betul poin itu. Pukulan-pukulan tangan kiri seseorang bisa begitu powerful-nya, sehingga dalam waktu sepersekian detik, kepalan tangan sudah mampir di ulu hati lawan dan masih banyak lagi teknik-teknik lainnya. Tetapi, meskipun keras latihannya, tinggi akurasi gerakannya dan tinggi capaian prestasinya para master ini tidak kehilangan ”passion” untuk menyalurkan ilmunya kepada para junior. Bisa dibilang para master ini begitu all out dalam urusan transfer mentransfer ilmu, dan bila ada yang berpikir atau merasa takut akan menyaingi mereka maka itu sungguh masih sangat-sangat jauh.

Di belakang buku hadir latihan ada puisi seperti ini :

Kerendahan Hati
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak dipuncak bukit, jadilah belukar. Tapi belukar yang baik yang tumbuh ditepi danau.
Kalau engkau tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput. Tapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan.
Kalau engkau tak sanggup menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil, yang membawa orang-orang ke mata air.
Tidak semua orang menjadi kapten. Tentu harus ada awak kapalnya.
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu.
Jadilah saja dirimu... sebaik baiknya dari dirimu sendiri.


Ini adalah salah satu puisi favorit saya, dulu sih interpretasinya tentang cita-cita. Maksudnya bila cita-cita tinggi tapi jatohnya ”segini” maka tak usah mutung, cukup menjadi yang terbaik di tempat itu, analoginya seperti singkong, tumbuh, berkembang dan menghasilkan dimanapun anda ditanam.

Dan sekarang saya jadi tahu bahwa kerendahan hati memiliki spektrum yang luas. Dulu sering kepikiran, kenapa para master ini tak pernah kelihatan menonjol atau berbeda, penampilan biasa, bila latihan tasnya saja usang, baju nya kadang lusuh, sabuknya jangan ditanya, warnanya sudah hitam pudar dengan sisi-sisi yang mengelupas sana-sini. Tapi lihatlah muridnya. Meski Tegi-nya masih terasa kasar karena baru, sabuknya masih keras dan warna-warni tapi kebanyakan jarang dicuci. hehehe

Saat lepas Tegi, mereka jadi manusia biasa lagi, jadi seorang calon anggota ABRI, jadi mahasiswa, jadi guru les, jadi anak orangtuanya yang kena giliran bersih-bersih. Selama pakaiannya masih preman kita tak pernah tahu siapa seseorang itu sesungguhnya, dan seberapa tinggi ilmunya.

Barulah kelihatan saat bergerak. Baru takjub ketika memperagakan ”Kata”. Ternyata naturenya begitu, makin tinggi makin biasa-biasa, seperti seekor macan dewasa yang berjalan merunduk. Dan sudah nature nya begitu, bahwa segala yang dilahirkan akan tumbuh menjadi besar, dengan melihat siklus biji mahoni yang kelak menjadi pohon besar sepertinya penulis puisi diatas juga hendak mengingatkan bahwa semakin tinggi seseorang seharusnya tidak makin membahayakan buat kehidupan yang lainnya, tapi memberikan ruang untuk hidup bersama dan ruang untuk berkembang.

Pohon besar, belukar kayu, rumput, jalan besar, jalan kecil, apapun. Satu tidak lebih rendah nilainya dengan yang lain, pohon besar menaungi, belukar melindungi dan rumput menunjukan arah, adalah suatu kesombongan bila mengatakan rumput dan belukar hanyalah organisme yang tanpa guna. Seperti juga tingkat-tingkat dalam masyarakat, kita sering mendengar ada ungkapan sampah masyarakat, benalu, penyakit sosial, dsb. Tapi tanpa pengetahuan yang cukup tentang mereka kita tidak pernah tahu benar dan salah.

Bila biji pohon mahoni masih sebesar rumput maka usaha maksimalnya adalah bertumbuh, sebab menjadi besar dan kecil kadang hanya masalah waktu yang dipergilirkan.

Persoalan lainnya adalah nilai diri. Pohon adalah pohon, seperti halnya belukar kayu dan rumput, mereka unik dan diciptakan ada karena dari segi kegunaanya juga bermacam-macam. Sungguh tak apa-apa menjadi rumput dan tak ada yang salah dengan rumput. Mungkin rasanya sekedar mengisi satu siklus kehidupan, tapi tak ada yang harus membuatnya berkecil hati apalagi rendah diri dihadapan sang pohon. Meskipun rumput, tetapi jadi rumput terbaik yang pernah ada, rumput emas yang memperkuat tanggul dipinggiran jalan yang dilalui manusia.
Saat badai hanya pohon yang paling kuatlah yang bisa bertahan hidup, selebihnya terombang-ambing dalam gelombang lalu mati dan membusuk. Sedang rumput diterpa banjir bandang tsunami pun tetap hidup karena daya tahannya terhadap krisis. Maka sudahlah, jadilah terbaik dari peran apapun yang diberikan pada kita. Sekali lagi, tak apa apa menjadi bukan siapa-siapa. Sungguh tak mengapa menjadi rumput.

Well, baik sebagai pohon besar, belukar kayu, rumput, jalan besar, jalan kecil, bila yang kita lihat semua penuh guna dan makna maka rayakanlah hidup anda ! :)