Sabtu, 31 Maret 2012

Pertapa Yang Pemanah




Dalam dua tahun ini kita terlalu banyak disuguhi drama. Dan apa yang kita lihat, baca, dengar lebih banyak mengecewakan, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada teman yang bilang "kenapa harus ribed mengurusi hal-hal semacam itu?”, well, tidak bisa dipungkiri bahwa rakyat seperti saya terutama menengah ke bawah akan selalu mendapatkan efek yang paling berat dari setiap keputusan yang tidak populis! Menaikkan harga BBM misalnya. Dan upaya pencegahan dari semua elemen masyarakat bisa kita lihat sebagai upaya agar jangan terlalu banyak rakyat menurun lagi kualitas hidupnya.

Buat orang kebanyakan seperti saya, apa yang tersaji di televisi dan koran sudah sangat membingungkan! Bagaimana kasus korupsi milyaran-triliyunan melenggang berlarut-larut. Tersangka tidak juga menjadi terdakwa dan dihukum setimpal! Melainkan bebas mengatur kapan jadwal liburan dan bepergian, sementara di satu sisi Pemegang Amanah dengan bangga menaikan harga-harga! Sungguh mencolok mata dan menyakiti!

Kita lantas bertanya-tanya pemimpin model apakah yang sedang berkuasa disini? Begitu banyak tabir pekat yang menghalangi ruang keadilan berkembang seluas-luasnya, lalu kita berpikir bahwa ia terlalu lemah untuk menghalau semua gelap sendirian, tetapi kita pun telah mengetahui bahwa kelemahannya karena ia tersandera. Satu tangannya memegang pedang, sementara kakinya diikat! Di ikat karena ulah sendiri.

Pemimpin Yang Bebas

Tidak mudah menjadi pemimpin yang sepenuhnya bebas. Tetapi jalan menuju kesana bukanlah hal mustahil, jika kita membaca sejarah kita seperti disuguhi cerita negeri dongeng dan di akhir bab kita selalu menyimpulkan bahwa pemimpin yang sempurna adalah takdir, tanpa menghayati bahwa begitu banyak kerumitan didalamnya. Contoh ini saja “Jika Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya…” kita membaca tanpa melibatkan pergulatan batin orang yang mengucapkannya. Siapa Fatimah? Kenapa anak sendiri harus dipotong tangan? Bukankah dirinya pemimpin yang bisa dengan enteng mencari-cari alasan, lalu mangkir? Kenapa beliau tidak melakukannya?

Dari cerita itu kita lantas menyimpulkan: ketegasan awal dari seorang pemimpin seperti ini akan membebaskan dirinya sekaligus membebaskan ruang keadilan berkembang sempurna. Integritas! itulah kekuatan awal yang membebaskan!

Pemimpin Yang Hening

Kita sudah membaca ini berkali-kali. Dan sejarah, mitos, cerita-cerita selalu menerangkan hal ini, hal ihwal menjadi seorang Raja atau Pemimpin.
Seorang calon pemimpin selalu mengambil jalan tersulit dan terhening yang pernah ada. Ada yang pergi menyendiri ke gua berkilo-kilometer jauhnya untuk mendapatkan kejernihan batin. Ada yang mengasingkan diri bertahun-tahun sembari membantu masyarakat di sekitarnya. Ada yang menjauhkan godaan duniawi untuk bisa bersih memandang hidup apa adanya sekaligus berusaha memperbaikinya. Semua dimulai dari mengambil jalan tersulit: Mengheningkan diri!

Brahmana Yang Memegang Busur

Ketika Arjuna menyepi ke gunung Indrakila untuk mengheningkan bathin, turun dari istana gading memerangi para raksasa, mencari tempat sepi, bermeditasi, melawan godaan tujuh bidadari ini tidak di pahami sebagai cerita wayang pengantar tidur. Kisah ini dituturkan untuk membantu kita memahami wilayah abu-abu di dalam jiwa yang sulit diungkapkan, namun memperngaruhi pikiran dan perilaku kita sehari-hari. Begitu pun cerita-cerita dalam kitab suci dimaksudkan agar manusia memiliki kekuatan untuk bisa melawan raksasa-raksasa pribadi mereka, orang-orang jahat didalam diri, ikatan kekeluargaan yang karenanya seorang pemimpin sulit memutuskan hukum yang seadil-adilnya.

Kiyai yang Pejuang, Brahmana yang Ksatria. Sehingga bila datang waktunya melepaskan panah ia akan melakukannya karena prinsip-prinsip keadilan semata!

Adakah yang seperti itu sekarang?

Yang jelas kita tidak bisa mengharapkan orang lain untuk menjadi pertapa sekaligus pemanah, semua dimulai dari diri sendiri.

Selamat menjalani hening dan belajar memanah :D

salam hangat



Gambar :Google "Hou Yi shooting the sun"