Selasa, 27 Januari 2009

BAB 3 : EMPOWER



Halo pembaca semua, mudah-mudahan di taun kerbau tanah ini (katanya) kita semua sehat wal afiat, gemah ripah loh jinawi.

kali ini saya mau bahas Bab Empower

Beberapa waktu lalu saya mendownload klip orang ini di youtube, saat itu beliau sedang berpidato di Oslo saat menerima hadiah Nobel Perdamaian. Saya mendengar kata perkata yang beliau ucapkan. "saya mengubah cara pandang saya ketika melihat sekeliling dari cara pandang burung yang selalu melihat dari atas, menjadi cara pandang cacing yang selalu melihat dari bawah". Yep, itulah Mohammad Yunus bapak mikrokredit kelas dunia.Apa sih istimewanya orang ini?. well, dia adalah seorang dokter ekonomi lulusan universitas terbaik di Amerika sana. tapi bukan itu yang membuatnya dapat Nobel atau yang membuatnya jadi spesial.

Bangladesh bukanlah negara makmur. Sebagai lulusan universitas terbaik yang mempelajari ilmu-ilmu ekonomi yang elegan ia tak pernah merasa begitu tertekan melihat realitas disekelilingnya : kemiskinan & kemelaratan seolah sudah mendarah daging. Gelandangan dan pengemis terlihat sepanjang jalan dan tak terhitung banyaknya. Mayoritas penduduk yang berwirausaha tak mendapatkan bayaran yang seharusnya karena sistem yang dibuat tengkulak.

Para tengkulak memberi mereka modal kerja, lalu membeli dari mereka barang komoditas dengan harga yang sangat-sangat murah lalu dijualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi. Dan inilah lingkaran setan yang seumur-umur sulit ditembus.

Suatu ketika Yunus -yang saat itu mengajar di universitas Chitagong- berjalan-jalan dengan para mahasiswanya ke pasar tradisional, nah disinilah mereka bertemu seorang wanita pembuat kerajinan tangan yang kualitasnya sangat baik, Amina Begum namanya. Alangkah terkejutnya Yunus dengan penuturan Amina, ternyata Amina hanya butuh beberapa puluh sen dolar saja untuk menambah modal, singkat kata Yunus mengulurkan tangan dan Amina boleh mengangsur modal dari Yunus. Selang beberapa waktu Amina berhasil melunasi semua kewajibanya terhadap Yunus sekaligus berhasil lepas dari tengkulak. Amina kini bisa menjual barang dagangannya dengan harga yang lebih baik. Dilain tempat Yunus makin yakin dengan teori-teori ekonominya yang baru.

Usaha ini seperti efek domino bagi kebanyakan wanita Bangladesh yang tengah berjuang memperbaiki kualitas hidup keluarga mereka. Program ini sukses besar dengan tingkat pengembalian modal diatas 98,9%. Namun usaha ini juga bukan hal mudah, para bankir menganggap meminjamkan modal pada orang miskin adalah kegilaan, para analis keuangan meragukan tindak-tanduk Yunus yang "nyeleneh". Usaha Yunus untuk mendapat pinjaman dari Bank pun tak pernah membawa hasil.

Tapi Yunus begitu yakin penghalang masyarakat Bangladesh untuk sejahtera adalah sebuah kesempatan mendapat modal ditambah regulasi yang memihak pada orang-orang seperti Amina Begum. Yunus akhirnya mendirikan Grameen Bank untuk mereka, dengan uang pribadi -tentu saja-. Mikro kredit rintisan Yunus sukses mengangkat harkat masyarakat Bangladesh, memberdayakan ratusan ribu desa dan menolong jutaan keluarga memenuhi kebutuhan hidup mereka termasuk menyekolahkan anak-anak Bangladesh ke sekolah-sekolah yang bagus. Seketika itulah dunia tengah menyaksikan kelahiran ilmuwan ekonomi baru.

Kini mikro kredit menjadi program PBB yang gencar di gaungkan untuk diterapkan dibanyak negara. See ! Yunus berani melakukan sesuatu (memberdayakan sesamanya) ditempat yang orang lain belum tentu "mau" melakukannya.

Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan pilihan yang ada saya rasa beliau bisa saja memilih ambigu, cuek, membiarkan, dll. Tapi jelas Yunus tidak berada di kualitas semacam itu. Satu-satunya pilihan adalah maju terus. Yunus boleh saja merendah dengan mengatakan dia orang biasa yang "hanya" menjalankan kewajiban semata. Namun semua melihat perbuatan yang diluar kebiasaan ini memberi hasil yang sungguh luar biasa (efek kupu-kupu lagi).

Tak diragukan Yunus adalah seorang pemimpin yang meng EMPOWER banyak orang sekaligus menginspirasi banyak pemimpin lain untuk berbuat serupa. Paduan kecerdasan, sikap mau peduli, menolak sifat lemah dan selalu mempertahankan optimisme. Dari beberapa model pemimpin kita tentu berharap "disini" pun banyak calon-calon pemimpin model Yunus.

Saya berharap anda lah the next pemimpin hebat itu. Dengan tanpa niat membandingkan - dalam kenyataannya pemimpin-pemimpin hebat yang ada selalu diiringi kecemerlangannya sendiri-sendiri. Tapi siapa tahu ternyata anda memang lebih hebat dari Yunus kelak ?

Saya kok yakin kita -dan dunia- akan melihatnya. Segera.

Selasa, 20 Januari 2009

Open Arm, Open Heart



Beberapa waktu lalu saya pernah lihat penangkapan Lia Aminudin, durasi 6 menit dari Liputan6 siang. saya mengikutinya sungguh-sungguh, pengen tahu motifnya. dan mengagetkan. ini sudah yang kesekian kalinya. kaget pada alasan lia hendak menghapus agama dan mengganti dengan agama yang baru, alasannya : agama-agama yang ada sekarang sudah tidak menjawab lagi keresahan umat manusia, agama sudah tak mampu lagi diandalkan untuk mengusir banyak bencana. Wah.

Sejak zaman dinosaurus, sampai ada manusia, sampai turun agama2 wahyu, dunia ini sudah sebagaimana adanya. Ia sudah sering kena hujan meteor, sudah jutaan kali kena banjir besar, tak terhitung angin tornado, badai kosmik, yang lebih tragis manusianya pun sudah sering bunuh-bunuhan, mereka kenal situasi perang yang paling mengerikan, mengalami kemelaratan, kemiskinan, sudah tak terhitung dirajam banyak kesulitan. Sudah berkolam-kolam airmata dan darah ditumpahkan. Jadi apanya yang aneh?.

Saya terus terang jadi muslim kerena keturunan. saya terima apa adanya bahkan disuruh ngaji saja pun males banget. dulu saya pikir buat apa sembahyang, toh sembahyang tidak serta merta membuat saya dapat undian, puasa saya tidak membuat orang-orang yang saya cintai tidak meninggal, zakat saya tidak membuat saya selalu sehat wal afiat.ibadah tidak membuat saya selalu lolos dari bencana.
tapi bukan itu ternyata.

Makin ke sini saya jadi tahu kalo saya memilih beragama islam bukan untuk "mengusir" banjir, sembahyang saya bukan untuk "dapat" lotere.

Saya ibadah karena saya dapat ketenangan menghadapi bencana itu, kekuatan yang lebih, sehingga saya bisa berpikir. Saya tahu betul jika Tuhan mengizinkan saya akan terhindar dari semua hal yang membahayakan diri saya, juga yakin jika Tuhan mengizinkan, semua yang tidak saya inginkan akan terjadi. Tapi bukankah Tuhan tidak akan memberi sesuatu yang diluar kemampuan kita menanggungnya ?. Maha Suci Allah yang Maha Tahu "siapa dapat seberapa". Pas. Soal rezeki, umur, suka , duka, kematian pun itu jatah. Tak terhindarkan, tak bisa dielakan.

Saya tak berniat sok-sok menantang bencana (dalam kenyataanya saya ini penakut). Tahu akan banjir ya ngibrit, lari dan ngungsi. Tahu hari ini bakal hujan ya bawa payung. saya merasa senang jadi manusia biasa. Senang ternyata ketergantungan saya pada Tuhan masih sangat besar dan dari kesemuanya itu saya jadi tahu.

Bahwa tak semua yang manis itu madu. Ya kan ??

Rabu, 07 Januari 2009

Time To Give



Sedih sekali saat membaca surat kabar dan nonton tv beberapa hari belakangan ini. Banyak orang nekat membuat finish dirinya sendiri (baca : bunuh diri) terutama pemuda-pemudi harapan bangsa yang super potensial itu. Tentu banyak sebab yang mendasarinya dan tidak melulu uang atau pekerjaan, rasa kesepian, hampa dan kosong batin bisa jadi penyebabnya, ditambah informasi2 negatif setiap hari yang melemahkan mental.

Dari banyaknya akar masalah tersebut yang mungkin berjuta-juta itu bagaimana kalo kita 'cut' saja dari sini.

Saya mengajak pembaca melihat lebih dekat ke keluarga (orang tua, kakak, adik),teman-teman, para sahabat-sahabat kita. Adakah yang dapat menangkap sinyal kegelisahan mereka ?, pernahkah menyediakan 'kuping' kita buat tempat mereka curhat ? supaya seengak-enggaknya ada orang yang masih mau bergandeng tangan 'menguatkan'. Ya sekedar mendengar tapi efeknya luar biasa. Telinga yang hanya mendengar itu bisa membuat luka hati sedikit mengering dan berangsur pulih. Mereka adalah bagian dari hidup kita. Kita tak mau tragedi menimpa orang-orang yang selama ini telah menghangatkan hati kita, bukan ?.

Saya pernah dalam kondisi 'nothing'. waktu muda sekali, keluar dari rumah. kerja, bertarung dengan kondisi mirip jalanan. keras, kosong, limbung dan pernah satu waktu saya merasa menyesal telah meninggalkan rumah yang aman, orang tua, saudara2 yang meskipun sering berantem tapi tetap membuatkan nasi goreng yang enak, plus kasur-kasur yang hangat. Saya totally lost semua itu. Merasakan semua gelisah, mual, putus asa, frustasi dengan lingkungan dan 'no clue'. Tapi di saat-saat yang paling menentukan itu saya msih ingat kalo saya punya keluarga yang masih bisa saya kunjungi sebulan dua kali, teman yang empati, sahabat saat kuliah (thanks to Dian, Netie, Rangga,Paul, widodo), sahabat di pekerjaan (Hestu, Yudi dan lainnya) yang sama gilanya. Dan saya sadar saya tak mungkin bisa bertahan sejauh ini tanpa kekuatan yang mereka berikan. Persis kaki kaki-kursi yang menjaga keseimbangan hidup saya.

Dengan semangat persahabatan saya mengajak pembaca untuk menjadi kaki kursi (penguat, penyokong) bagi siapapun disekitar anda, bisa jadi itu keluarga, teman bahkan sahabat, bahkan teman-teman yang hidup dijalan, yang tengah berjuang memperbaiki nasib. Hidup memang keras, persaingan-persaingan kadang menampilkan wajah yang tak biasa kita lihat saat hari raya, kadang bikin shock. Tapi senyuman anda -ya anda- bisa jadi matahari yang paling manis sepanjang hari itu.

Kata-kata anda akan menenangkannya, pendengaran anda akan melumerkan gejolak atau kemarahan yang selama ini terpendam, percayalah persahabatan anda ini akan dikenang sepanjang hidupnya. Banyak filsuf mengatakan kebahagiaan manusia adalah pada saat memberi. Mungkin kini adalah saat yang tepat : This is time to give, tak harus uang, tapi perhatian dan sikap persahabatan akan membuat seseorang berpikir ulang mengharapkan kematian.

Saya berharap kekuatan anda, kesediaan anda akan mengubah keseluruhan kehidupan seseorang hingga kita tak akan dengar lagi 'seseorang bunuh diri' karena : ia punya seseorang yang hebat seperti anda didekatnya.

Jumat, 02 Januari 2009

Sisi Lain Perang



Sudah ratusan kali saya lihat berita menyedihkan ini. Cerita cerita keserakahan, ketakutan, kesedihan, agresi, semua terpampang jelas di depan mata.Menyentak. Atas dalih memiliki nuklir, Irak di hancurkan, atas dalih menegakkan keamanan, negara Palestina di bombardir sampai hampir rata.

Perang adalah suatu kepastian. Jangankan antar negara, dalam diri manusia pun sering terjadi peperangan, perang batin contohnya. Banyak usaha dilakukan utk menghindarinya karena hitung hitungan materinya cukup besar, tapi tak pernah cukup hitungan pada manusia yang jadi korban salah sasaran, salah tembak. Lantas apakah pantas menyalahkan mesin atau tank2 baja itu ? Tidak ! Man behind machine itu lah biangnya.

Perang fisik adalah niscaya. Dalam beberapa literatur malah wajib hukumnya, karena bertujuan 'mengalahkan' kejahatan. Perang fisik yang sering kita lihat ini adalah puncak bertemunya kekuatan-kekuatan yang sebenarnya saling menyeimbangkan, saling isi dan pada akhirnya tak satupun benar-benar menang atau benar-benar kalah.

Di akhir perang yang tersisa adalah 'pemahaman', yang memungkinkan kita yang di pinggir lapangan mengetahui segala sebab dan akibat. Kemudian atas dasar pengetahuan itu kita jadi tahu apa yang harus dan tak harus dilakukan. Terkesan kejam memang tapi ia menunjukan kepada kita wajah lain manusia. Wajah yang haus darah, dan inilah pil pahit itu. Di satu sisi kita membencinya dan disisi lain sangat menikmatinya.

Sedikit orang takut pada sebab. Dan tak terbilang yang begitu lantang pada akibat, padahal semesta ini tunduk pada hukum-hukum keseimbangan, keteraturan dan hukum lain yang sangat pasti. Namun beberapa gelintir tak paham atau mungkin tak ingin paham.
Agresifitas membabi buta yang tak bertanggung jawab ini hanya akan menyeret eskalasi yang tak terbayangkan. Kebencian yang mengakar. Lingkaran hitam yang menjadi sangat masif sulit diselesaikan.

Dan akhirnya, jika peperangan sudah tak terhindarkan mungkin itulah takdir yang harus dijalani dan diupayakan semaksimal mungkin. Tapi bila kita masih mampu mencegahnya maka disanalah panggilan hidup itu, agar jangan sampai rumah sakit yg berisi bayi-bayi mungil tak berdosa dihancurkan.

Sempat saya bertanya 'di saat seperti ini Tuhan ada dimana ?' Berpaling kah ?. Juga sempat terbesit betapa tidak adilnya peperangan ini?

Tapi apakah yang adil itu ? Akankah langsung turun pasukan malaikat yang bisa kita lihat ?. Atau pengetahuan kita akan sesuatu yang benar dan salah jadi meningkat, pun bisa disebut pertolongan ? Mungkin kah Tuhan sedang menunjukan keinginan-NYA agar banyak manusia menjadi utuh, berkembang dewasa, bertanggung jawab, bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, bisa melihat lebih baik lagi akan sebab dan akibat yang di buat tangan nya sendiri ?

Atau ada pelajaran lain yang harus direnungkan di balik cerita-cerita keprihatinan ini ?