Kamis, 04 Desember 2008

Lidah, Mata dan Telinga




Sebenernya agak ragu kalo membahas ketiga panca indra ini, dari segi fungsi semua nya sangat mengagumkan. Kalo kita cermati yang memiliki ketiga indra ini bukan cuma manusia, hewan dan (konon) makhluk halus pun punya. Tapi izinkan saya memikirkan hal ini, setelah membaca, melihat dan merasakan sendiri saya harap bisa mengulasnya dari pengalaman.

Lidah yang kita punya ini hidup di dua alam : nyata dan gaib, di alam nyata ia tak lebih dari alat ucap dan alat pengecap yang merasakan panas, dingin, rasa, kasar atau lembut dari apapun yang hendak masuk ke mulut kita. Di alam gaib lidah ini mengenal ego, ia mengerti mahal, murah, harga diri, prestise dan pemilih terhadap apa yang ia ingin kecap dan ucap. Maka karena ia istimewa ia bisa menghasilkan permata sekaligus bencana yang tak terkira .

Mata yang kita kenal ini juga diiringi mata lain yang lebih hebat, para waskita contohnya mereka memiliki apa yang disebut 'mata hati'. Para waskita adalah mereka-mereka yang diberi keistimewaan oleh Tuhan untuk menjaga kesetimbangan situasi, cara mereka melihat beda dengan kita. Mata biasa mungkin melihat yang ada, tapi mata hati bisa melihat dibalik 'yang sekedar ada' maka anugerah inipula yang membuat mata tak bisa diintervensi oleh indera lain kecuali indra ke enam yang letaknya pun gaib.

Maka indra yang paling pemilih, paling narsis yang dekat dengan kita adalah telinga kita sendiri. Ia cuma dengar yang ingin didengar, gak mau dengar yang jelek-jelek. ia suka dengan pujian, ia sensitif (di omongin orang pun kerasa kan... panas !! hehehe). Di alam nyata dan alam gaib pun telinga ini tabiatnya sama saja. Bedanya ada telinga yang suka mendengar semua jenis suara dari luar tapi ada juga yang mendengar suara dari dalam dirinya. Dan ini rumit.

Aktifitas bicara, mendengar dan melihat adalah karunia. Ia tak tergantikan. Selama beberapa waktu belakangan ini saya melihat 'banyak' yang ditimbulkan oleh ketiga indriya ini. Tidak pandai memilih kata seseorang jadi tersangka, salah lihat, orang jadi korban, salah dengar pun bisa jadi bom yang meledak kemana-mana. Tapi yang paling mengerikan dari itu adalah fitnah. Teman baik saya mengalaminya. Dan fatal, sebab fitnah merampas keseluruhan hidupnya. Fitnah memang lebih kejam dari fitness. Tapi untunglah segala 'hukum sebab akibat' ini berlaku (jika kita tak mau menyebutnya hukum karma), dan teman saya itu kembali bersih meskipun perjuangannya panjang dan melelahkan.

Aktifitas indra yang tak tergantikan ini seharusnya membawa seseorang ke posisi yang adil, tidak memberikan lidah, mata dan telinganya kepada orang lain tapi melakukannya sendiri lalu memilah mana yang nyata, mana yang palsu. Bisa melakukan perimbangan dari cara melihat, cara bicara dan mendengar membuat pemimpin tampak 'so right' dari sini kita melihat keutamaan manusia yang notabene semuanya adalah pemimpin itu.

Tidak ada komentar: