Kamis, 04 Juni 2009

MULIA



Ketika bekerja, kalian bagai sepucuk seruling yang menjadi jalan bagi bisikan waktu untuk menjelma menjadi lagu, maka siapakah yang mau menjadi ilalang dungu yang bisu, ketika semesta raya melagukan gita bersamaKahlil Gibran

Salah satu acara yang selalu saya ikuti di sore hari adalah ”Jika Aku Menjadi”. Sebuah acara reality show yang -saya pikir-lumayan berbobot. Menurut saya acara ini dibuat bukan untuk hiburan semata, tapi juga sarat dengan pesan yang saya yakin dimaksudkan untuk melihat lebih dekat satu sisi kehidupan lain. Lokasi bisa di satu sudut kota yang terpinggirkan, kadang disebuah desa yang lumayan jauhnya dimana akses listrik saja pun masih belum bisa dinikmati oleh orang banyak, kadang juga tak jauh dari tempat kita berdiri. Dipandu sendiri oleh orang-orang muda yang berasal dari kota untuk bisa merasakan langsung apa itu kerja keras dan menyingkap sisi lain tentang hidup berkekurangan. Tapi memang yang paling kuat dari keseluruhan inti acara ini adalah ajakan untuk selalu mensyukuri berbagai nikmat Tuhan yang ada di hidup kita.

Tentu bukan mensyukuri bahwa nun jauh disudut sana ada banyak orang lain yang lebih menderita dari kita, tapi lebih ke "melihat lebih dekat" apa yang sedang terjadi disana. Bukan untuk menghibur diri tapi sejenak menyimak permasalahan yang sedang terjadi untuk menemukan dimana yang salah lalu bersama-sama keluar dari sana untuk berusaha memperbaiki keadaan. Bukan pada pekerjaannya tapi tekniknya, juga bukan berapa hasil yang didapat tapi bagaimana memasarkan yang baik untuk mendapat hasil yang menggenapi. Dan disinilah peran para penonton sebenarnya amat diperlukan. Untuk tidak sekedar menonton tapi diharapkan ikut menceburkan diri langsung ke lapangan.

Kita selalu berpikir, makan tiga kali sehari adalah hak paling dasar yang wajar, tidak hanya itu kita terbiasa ”ada” dengan lauk pauk yang memikat selera, tidur dengan kasur-kasur yang empuk, sekolah di tempat favorit, uang saku, uang jajan, ayah mungkin seorang pekerja kelas menengah dan ibu yang punya jadwal arisan minimal sebulan sekali. Tapi lihatlah !
Di sudut lain sebagian besar masyarakat masih harus berjuang memenuhi hak makan tiga kali sehari. Urusan makan ini akan selalu dikaitkan dengan apa pekerjaan yang dijalani karena ekivalen dengan seberapa yang dihasilkan dan berapa banyak yang dibelanjakan. Dan tentu semua pekerjaan yang ditampilkan di program ini adalah pekerjaan mulia. Yang paling hina di negeri ini, di manapun di galaksi manapun adalah mengambil apa yang bukan haknya (baca : korupsi, mencuri).

Saya tidak tahu bagaimana Tuhan Yang Maha Kuasa memasangkan seseorang dengan sebuah pekerjaan, juga menggaji (baca: memberi rezeki) sesuai dengan ukurannya (invisible hand-kah ?). Kenapa seseorang jadi pedagang beras, karyawan swasta, PNS, tukang angkut sayuran, tukang insinyur, CEO, akuntan, petugas kebersihan, tukang cukur, pemecah batu dan lain-lain ( lebih jauh, mungkin ini sebabnya manusia tidak boleh berlaku sombong, sebab kalau sedikit saja tertukar nasib maka seluruh rangkaian cerita hidup kita akan berubah sama sekali).

Izinkan saya memikirkan hal ini : jika rambut saya yang gondrong ini gerah kira-kira siapa yang akan saya mintai ”tolong” untuk mencukurkan jika semua orang adalah pedagang beras ?, oke lah.. kalo saya sakit perut kira-kira siapa yang akan saya mintai ”tolong” jika semua orang adalah tukang cukur ?. Yeah that’s the point. Tidak semata-mata sesuatu itu ”ada” tanpa ada ”kegunaan”, ”fungsi”, ”faedah”. Maka apapun profesi yang ada, hadir dan digeluti di dunia ini semua nya mulia. Yeah pemecah batu, penggali kubur, pembersih selokan, bapak-ibu penyapu jalan-jalan utama, tukang bubur, penerjemah, penulis dan apapun, selama halal dan tidak mengambil hak orang lain adalah mulia. Jika kemudian rejeki dari pekerjaan itu tidak cukup maka cukuplah Tuhan Yang Maha Pemurah yang akan kemudian mengatur jalan selanjutnya.

Yang ideal dari sebuah pekerjaan -yang menghasilkan uang- harusnya timbul karena passion, dari hasrat yang dalam, dari kesuka citaannya melakukan sesuatu, dari kesenangannya, dan gairah yang dimiliki pada minat yang ada didirinya. Yang hobinya menghitung maka profesi akuntan, perbankan mungkin adalah profesi yang tak akan membuatnya ”sekedar melakukan”. Seorang yang berbakat memimpin dan memiliki ”hati”, ”rasa”, dan berbagai syarat-syarat lainnya tentu akan melakukan pekerjaan memimpin dengan baik tanpa harus mengeluh. Semua berjalan sangat baik semakin lama hanya akan semakin hebat saja.

Tapi banyak yang tidak seberuntung itu. Ada yang sedang menunggu pekerjaan impian. Beberapa orang merasa pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Beberapa harus bertahan karena "kebutuhan", banyak diantaranya masih berjuang menaikkan grade nya. Dan itu sangat alami, wajar, sebuah proses yang harus terus diupayakan.

”kita lahir dizaman baru!” kata teman saya.
”banyak guru nyambi jadi tukang ojek, kepala sekolah merangkap jadi pemulung, dokter merangkap jadi penyanyi, pelawak merangkap jadi anggota dewan. Kau mungkin pegawai pabrik rendahan tapi kau masih bisa jadi apapun yang kamu mau, jangan membatasi langkah, keluarlah dari keterbatasan menjadi seseorang yang tak terbatas” lanjutnya
Deg !. Saya seperti biasa langsung down.

”Cuma satu syaratnya : miliki pikiran terbuka”
Deg lagi ! dan saya langsung pusing.

Gara-garanya ketika singgah di sebuah hotel di Singapura. (katanya sih) Teman saya melihat seorang kakek-kakek tua yang bekerja mengecek pintu hotel. Sudah puluhan tahun profesi ini dijalaninya dan ia tetap tekun. Ternyata diluar itu ia dan istrinya adalah wirausahawan yang cukup sukses, setahun dua kali ia dan istrinya berlibur ke Macau atau Hawaii.
Ketika ditanya, kenapa masih bekerja sebagai pengecek pintu jika diluar ia sudah kaya. Jawabannya edun :

”anakku, tamu-tamu dihotel ini selain orang-orang penting, mereka juga manusia yang mungkin telah lama dirindukan keluarga mereka dirumah, sebagian mungkin CEO-CEO perusahaan besar yang bertanggung jawab pada nasib banyak sekali orang, mata rantai ini yang saya jaga. Bayangkan jika satu saat terjadi sesuatu, kebakaran misalnya dan hanya karena masalah engsel pintu ini mereka tak bisa menyelamatkan diri, maka saya mungkin tak bisa menebus rasa penyesalan akibat hal ini”.

Dan kata-kata yang di berikan ke saya ternyata lebih pedas dari versi aslinya. Dengan berbagai tambahan sana sini yang membuat saya harus manggut-manggut seperti orang yang ngerti. (belakangan saya meragukan keabsahan ceritanya .. hahaha)

Tapi terlepas dari itu, melihat kembali apa yang kita kerjakan. Memaknai nya lagi, tidak sekedar lakukan tapi semua berasal dari hati, dari kecintaan yang dalam, dari rasa tanggung jawab. Dari sana kita mungkin akan terbiasa melakukan lebih dari sekedar yang diminta.. seperti melukis anda lah sang maestronya, tidak hanya menggurat semata tapi memberi beberapa polesan akhir dimana ratusan tahun kedepan orang masih akan bilang : ini karya Affandi yang hebat itu !

Ah saya hanya bisa berandai-andai jika saja semua orang (termasuk saya pastinya) punya pikiran terbuka dan terbiasa melihat dari sudut yang sama sekali lain seperti ini. Pasti semua akan lebih baik. Mungkin tak akan ada yang ditahan gara-gara email yang isinya keluhan. Tak ada surat kaleng, atau premanisme.

Baiklah. Seseorang mungkin saja tidak menyukai atasannya, lelah dengan situasi kerja yang sikut-sikutan, beberapa teman mungkin tak suka dengan birokrasi basi, teman-teman yang lainnya mungkin benci dengan orang-orang yang berseliweran disana tapi, jangan pernah benci dengan pekerjaan nya.

Bekerja dengan rasa cinta, berarti kalian sedang menyatukan diri dengan diri kalian sendiri, dengan diri-diri orang lain dan dengan Tuhan. Bekerja dengan cinta bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu lah yang akan mengenakannya nantiKahlil Gibran

Ya Allah, mudah-mudahan saya bisa berusaha ke arah itu.. amin

Tidak ada komentar: