Kamis, 04 November 2010
API
Tinggi menjulang, berwibawa dan berbahaya.
Itulah kesan pertama saya tentang Merapi, belasan tahun yang lalu. Dulu semasa masih kecil, disaat liburan sekolah saya pernah ikut paman saya mencari rumput untuk makanan sapi. Dari ketinggian yang sama, paman menunjuk ke arah Merapi, saat itu asap mengepul dari puncaknya.
Saya baru tahu bahwa Merapi diupacarai setiap tahun. Seorang lelaki tua Mbah Maridjan namanya, setia dengan tugas itu. Sebuah tugas sangat berat dari Raja Jawa kesembilan untuk bisa membaca tentang karakter Merapi yang tersurat, serta membaca udara yang tersirat darinya—demikian tugas juru kunci, mewajibkannya untuk mengenali sedari awal jika sang Merapi akan ”hajatan”.
Awalnya tidak ”ngeh” dengan sosok lelaki itu. Apalagi setelah membintangi iklan dan muncul di tv, pikiran saya mengatakan bahwa dia sama saja: uang dan popularitas! Apalagi ??! –belakangan saya baru tahu, ternyata simbah dibujuk sedemikian rupa, dan uang honornya digunakan untuk membantu tetangga-tetangganya. Kualitas lain yang luput dari berita!- (maaf ya mbah)
Lalu pandangan itupun dengan sendirinya berubah, setelah mencari tahu sana-sini akhirnya saya mandapatkan gambaran "hampir" utuh darinya.
Salah satu perbuatan yang paling sia-sia didunia adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Dan jatuh cinta tidak mensyaratkan apapun, datang kepada siapa saja, kepada apa saja. Termasuk jika seseorang mencintai Merapi yang notabene adalah sebuah gunung api aktif!.
Bagi saya, Merapi ”hanya” sebuah gunung api. Ia telah ada disana, ratusan ribu tahun jauh sebelum eksistensi raja-raja manapun. Ia bisa ngamuk kapan saja, gulungan awan panas bisa turun kapan pun tanpa harus memberi tahu sebelumnya. Tetapi tidak sesederhana itu bagi seorang Mbah Maridjan.
Dalam dunia yang saya yakini, segala sesuatu yang kelihatan adalah ibarat gunung es yang terapung-apung di tengah samudera. Kita bisa mengira-ngira sekaligus mengukur gunung es itu: seberapa tinggi, lebar, panjang dan luasnya. Tetapi kita tidak pernah bisa memprediksi sebesar apa bagian gunung es itu yang tak kelihatan dibawah sana.
Dalam kasus mbah Maridjan, sementara saya melihat gunung itu benda mati, mbah Maridjan melihatnya sebagai orang tua berwibawa dengan segala prilakunya. Saya melihatnya musyrik, simbah bergaul dengan asyik. Ketika saya melihat bahaya, simbah hanya melihat cahaya. Saat saya melihat sia-sia, simbah telah melihatnya sempurna!. Jadi ini sebenarnya soal apa?.
Dalam dunia yang penuh kejutan seperti itu, hidup menjadi sawang sinawang. Saling memandang yang kelihatan, semua berkaca-kaca. Salah pandang akan salah paham. Kita cenderung menyalahkan kacamata orang lain tanpa mengecek buram atau tidak jendela sendiri. (bukankah hanya Tuhan yang berhak mengecek seseorang itu musyrik atau tidak?)
Cinta. Ya tentu saja. Tidak ada yang lebih kuat dari itu, dan tak ada yang menyalahkannya. Merapi adalah hidupnya, puluhan tahun sudah bersamanya, susah- senang, kesetiaan. Merasakan kedamaian saat sang Merapi tenang, kesuburan tanahnya, keindahan alamnya. Siapa rela melepasnya? Jika kini Merapi mengatakan sudah saatnya, maka simbah tak kuasa menolaknya. Saatnya datang mangsa lara, akankah dia menolak masa susah setelah puluhan tahun menikmati kegembiraan? Tidak! Simbah akan menemaninya, mungkin karena itulah dia tidak mau turun menyelamatkan diri. Kedengaran gila? Tentu saja!.
Dari kecintaan seseorang yang ”tergila-gila” kepada gunung api, apakah kita bisa belajar sesuatu??. Hmm, saya membayangkan bagaimana jika seorang pemimpin ”jatuh cinta” seperti itu kepada rakyatnya/umatnya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, rakyat adalah sebuah centre of life, pusat hidup!. Susah-senang bersama, tetap setia dan tidak meninggalkan mereka. Saat datang masa-masa susah dia ada untuk mereka, menghadapi bencana alam dan bencana moral bersama-sama, sampai suatu saat nanti kematian datang dan turut menyempurnakannya! Ah!
Adakah pemimpin yang berani segila itu dizaman sekarang?? Adakah? Mungkinkah?? Bisa jadi ada, bisa juga tidak. Jika pun ada, mudah-mudahan cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, sebab kekuatan perubahan sedahsyat itu datang jika keduanya memiliki kadar cinta yang sama. Energi yang sama.
Pemimpin gila. Ah, kita hanya bisa merumuskannya saja, diam-diam kita telah tahu ramuan apa saja yang membuat seorang pemimpin sedemikian sempurna. Pemimpin dengan watak api! Membakar segala kebodohan, menghanguskan tamak, menghancurkan ikatan-ikatan sulit dimana keadilan susah berkembang. Dialah itu yang bercahaya terang, menerangi setiap jalan dan menuntun kepada kekuatan. Namun murka hebat bila kedzaliman sudah sedemikian parah. Adakah? Dimana?
Kita selalu mencarinya. Meramalkan kedatangannya dan berdoa agar kelak dipimpin orang seperti itu. Dimana keberadaanya, kita tidak pernah tahu, Wallahuallam.
Tetapi jikapun kita tidak menemukannya sekarang, maukah kita jadi orang itu? pemimpin itu, yang ”gila”, nggilani, dan tergila-gila minimal dalam lingkup terkecil? Memimpin diri, meski dilingkungan sendiri?? :)
Salam hangat, selamat menyumbang dan tetaplah optimis.
Turut berduka cita atas meletusnya Merapi, tsunami Mentawai, banjir Wassior. Sedikit atau banyak sumbangan adalah energi.
foto dari National Geographic
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar