Sabtu, 18 September 2010
Pranata Mangsa
Akhir tahun lalu saya sengaja menghabiskan satu minggu di kawasan pegunungan di Jawa Tengah. Sebelumnya sudah niat mau bakpakeran sendiri ke Dieng, melihat kawah dan kebun apel, membuktikan sendiri apakah benar hampir semua orang Dieng memiliki pipi yang merah?. Tetapi karena satu dan lain hal rencana itu berubah. Saya putuskan kesana saja, ke tempat leluhur saya.
Ingatan ingatan masa kecil saya tumpah ketika melewati jalanan setapak. Saya pernah melewati jalan ini. Batu-batu besar, pohon-pohon tua, aroma rumput, perdu, kotoran sapi, bunga-bunga mangga dan semak seketika menjadi harum. Dan saya seperti anak kecil di toko permen yang sedang kegirangan, dada ini seperti melonjak-lonjak. Yaa jejeran pegunungan Semilir mungkin asing, tetapi saya masih bisa mengingatnya dengan jelas. Satu hal yang menjadi ingatan favorit saya di tempat ini adalah, pada saat almarhum kakek saya mengambilkan buah-buah kelapa muda, dengan golok dipinggang, tanpa alas kaki dan kedua tangannya dipenuhi banyak buah kelapa muda, kepalanya menunjuk kami -cucu-cucunya- dan dagunya mengisyaratkan ada sesuatu di tangannya. Dan kami pun berlarian, berebut buah kelapa dengan gembira, ah.
Gunung itu ramai ditanami jati. Jalan setapak yang saya lalui sungguh unik karena sementara kita melihat batu-batu cadas yang besar di sebelah kiri, disebelah kanan menganga jurang-jurang yang sangat dalam.
Saya menggunakan ponsel seminim mungkin. Selain karena sinyalnya mengerikan, saya juga ingin memperhatikan sejelas mungkin kehidupan disini. Angin. Ya, betapa luarbiasa kekuatan angin didaerah sini, mungkin itulah sebabnya dinamakan Semilir, merujuk pada sifat gerak angin. Angin, hijau dan damai. Seperti memasuki daerah yang senyap. Kawasan ini seperti berada di sebuah kluster yang terjaga oleh angin. Pagi, siang, malam angin tak henti-hentinya berhembus kencang. Jika hujan turun maka kekuatannya bertambah-tambah. Mengerikan memang. Entah ada kekuatan apa yang ada di sana, tetapi pertama kali menghirup aroma gunung itu saja semua sudah ”lain”.
Disini semua berjalan sangat lambat tetapi bisa juga terasa sangat cepat. Sepertinya waktu memang tergantung dari setelan manusianya, ia bisa di buat sangat lambat atau cepat. Dan akibatnya saya ikut dalam kelambatan itu. Mulai dari bernapas saja, saya belajar menarik napas panjang dan menghembus pelan-pelan, hanya dengan begitu saya bisa menghemat tenaga sekaligus meng-generate-tenaga baru selain tentunya beristirahat secara periodik karena jarak, darimana hendak kemana memang sangat jauh. Maka hanya dengan mengatur napas dan memperhitungkan langkah saja, kita bisa selamat sampai ditujuan dengan berjalan kaki.
Mungkin beginilah sifatnya bila suatu tempat didominasi oleh angin. Lama-kelamaan gesekan daun, pohon-pohon bambu dan lonceng-lonceng di leher sapi semuanya seperti bernyanyi. Nyanyiannya juga dari jenis yang juga lambat. Apakah ”lambat” juga punya arti? Apakah saat waktu serasa panjang juga memberi tanda akan sesuatu?.
Jika melihat bagaimana orang-orang desa yang kebanyakan menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam, saya sering kosong. Dalam artian setiap hari, dari hari ke hari yang saya lihat di sawah itu adalah padi yang selalu saja hijau. Ah betapa lamanya mereka matang, kenapa tidak menggunakan teknologi saja yang memungkinkan padi lebih cepat panen. Dan dapat ditanam lagi.
Tetapi ternyata tidak seperti itu, bagi orang-orang jawa yang masih menggunakan kalender Pranata Mangsa atau kalender jawa purba –apalagi untuk urusan bercocok tanam-, semuanya sudah dihitung dengan cermat. Dan kenapa beberapa petani emoh menggunakan teknologi sekarang adalah karena kebanyakan masih mengikuti kearifan masa lalu. Tidak terburu-buru ingin panen, tidak pesimis melihat padi yang dari hari-ke hari masih saja hijau, kapan mereka matang, kapan tumbuh dewasa, kapan?.
Bagi mereka melambat adalah sama dengan menghargai pendirian alam. Ya, belajar untuk tidak juga terburu-buru menjatuhkan vonis karena hanya satu kemungkinan bahwa apapun yang sedang terjadi saat ini adalah, bahwa padi itu sekarang sedang melalui proses. Sehingga tak harus menyalahkan waktu, menyalahkan musim, dalam penerapan lebih jauh adalah tidak menyalahkan pendirian, karena selama masih hidup ukurannya hanya satu: siapa yang tahu bahwa ia masih berproses.
Ada hal-hal lain tentang melakukan segala sesuatu dengan melambat ini yaitu menikmati waktu saat ini. Terdengar kontradiktif memang. Tetapi kenyataannya, ada saat-saat kita harus melakukannya. Agak susah menerapkannya, bagi saya yang sudah terbiasa ”menargetkan sesuatu” solah-olah ”hasil” dan ”waktu” bisa disetel sesuai perut. Awalnya menjengkelkan, mengunyah makanan empat puluh kali kunyah, baru sepuluh sudah tertelan!. Merasai dinginnya air minum dengan cara meneguknya pelan-pelan sehingga lidah paham betul dengan hawa, memperhatikan ujung hidung kapan saya bernapas, apakah saya bernapas pelan apakah cepat.
Lalu apa kata nenek saya dengan kegiatan ngerasanin ini ? agar kita bisa memaknai mangsa/waktu. Dari sana kita eling dengan laku. Mulai dari hal sesepele membuang sampah, berjalan, tidur, membaca, mencuci, berjemur, sampai tepekur di mushola dekat rumah. Kegiatan apapun yang kita lakukan adalah hal yang kita ”sadari”, sehingga apapun, kegiatan apapun itu bisa kita maknai.
”Mangsa Kapitu, wisa ketir ing maruto, mangsa ini harusnya banyak hujan, banyak sungai banjir. Seharusnya saat inilah memindahkan bibit padi ke sawah. Tetapi sekarang sepertinya musim-musim sudah berubah. Yang bila di perhitungkan musim hujan malah tak ada hujan. Atau malah hujan besar di musim yang seharusnya kemarau.”
”Posisi petani sekarang serba sulit, karena seolah ditinggalkan oleh alam. Alam seperti sedang mengetes. Maunya manusia selalu serba cepat, cepat-cepat panen. Padahal wajarnya tanam padi itu setahun sekali, selebihnya bertanam palawija agar hara tanah tidak rusak. Musim-musim yang tidak menentu sekarang ini mungkin hendak menunjukan bahwa manusia harus selalu eling lan waspada. Toh bagaimana pun manusia itu juga sebuah proses yang harusnya tidak jumawa dan mengambil jalan cepat-cepat.”
”Eling lan waspada ini mengingatkan bahwa manusia harus terus belajar, belajar jadi manusia itu sendiri. Supaya menjalani hidup ke tingkatan yang baik, sekarang, saat ini, disini” tutupnya.
Lambat tidak selalu identik dengan malas, sebetulnya. Tetapi selalu bersikap mengambil jarak terhadap sesuatu. Sikap ngerasanin ini lebih ke arah menikmati momen demi momen yang selalu berubah, sekaligus menghargainya. Melihat kenyataan yang ada sekarang sebagaimana adanya. Hujan ya hujan, kemarau ya kemarau. Menerima keduanya sebagai sebuah ketentuan yang selalu berubah-ubah. Menolak musim kemarau dan hanya menerima musim hujan saja, lalu kapan mulai menanam dan kapan panen?, sebab proses ”menjadi” padi memerlukan lebih dari sekedar pergantian musim-musim. Padi yang matang secara alami menghasilkan butiran beras dengan kualitas terbaik dan rasa yang enak. Betul tidak?.
Ternyata sawah yang saya lihat tidak sesederhana seperti kelihatannya. Banyak kisah didalam kisah, banyak cerita, mitos dan upacara dan tentu saja: pranata mangsa. Waspa kumembeng jeroning kalbu (air mata menggenang dalam kalbu), pancuran mas sumawur ing jagad (pancuran emas menyinari dunia), anjrah jeroning kayon (keluarnya isi hati).
Wah benarkah petakan-petakan sawah yang sering saya lihat ternyata mengandung kearifan dan kebijaksanaan yang tinggi di masa lalu ?? dan siapkah melambat barang sebentar agar tahu makna kegiatan kita selama ini ??
Hmm rasanya tak salah mencobanya!
Pranata mangsa selengkapnya di wikipedia
Foto dari National Geographic
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar