Kamis, 06 Oktober 2011
Listen
"Kehidupan tidak mendengarkan logikamu; kehidupan menempuh jalannya sendiri. Kamu harus mendengarkan kehidupan; kehidupan tidak akan mendengarkan logikamu, kehidupan tidak peduli akan logikamu" ~Osho
Ketika menulis ini, bisa dipastikan penulisnya sedang galau.
Hehe.. entah siapa yang mempopulerkan kata "galau" itu, tetapi yang jelas itu menggambarkan suasana hati yang sedang dirundung gundah gulana.
Setiap orang pasti pernah galau dalam hidupnya, yah setidaknya sekali dalam seumur hidup, pasti pernah berhadapan dengan kondisi yang satu ini. Galau juga identik dengan bimbang, ragu dan kebingungan. Bisa ragu karena terlalu banyak pilihan, atau bahkan bimbang karena tidak sanggup memutuskan, kondisi yang serba tidak menentu dan lain sebagainya.
Banyak orang yang telah sampai pada "menemukan apa yang diinginkan dalam hidup", tipe orang jenis ini tentu sangat beruntung, namun lebih banyak orang merasa "belum tahu apa yang diinginkan dalam hidup". Saya termasuk tipe kedua. Dan tidak merasa sedang kurang beruntung. Dan tulisan ini bukan pembenaran melainkan sebuah proses menemukan apa yang saya mau.
Kalo umur sudah memasuki usia dewasa, ya begini ini. Kadang suka ngehayal, gimana kalo saya hidup dipesantren saja, sebuah tempat yang didalamnya berisi para guru-guru spiritual yang siap menjawab setiap pertanyaan yang saya ajukan, saya tidak usah menjadi member klub Galauers lagi, karena jawaban para Guru tersebut pastilah sudah sangat paten! Tetapi, khayalan khas anak-anak ababil itu segera saya singkirkan jauh-jauh.
Bukankah setiap orang akan/harus melewati fase ini? bukankah setiap orang punya kegelisahan yang harus dijawabnya sendiri? dan daripada menyandarkan jawabannya kepada orang lain bukankah lebih baik jika kita berusaha menemukannya oleh kita sendiri?.
Mendengarkan Hidup
Ketika hiburan semakin banyak, ketika gadget sudah semakin canggih, ketika kemauan saling berkejaran, orang-orang tua jaman dulu menganjurkan agar kita tidak coba mencari jawaban pada semua itu, melainkan mencarinya diantara malam atau tempat-tempat yang sepi. Menarik diri dari hal-hal yang bersifat "luaran" untuk mendengarkan apa keinginan sebenarnya yang ada di "dalam", oleh sebab itu sebagian orangtua akan menyarankan anaknya (bukan menyuruh, melainkan harus kehendak diri sendiri) untuk melaksanakan "Lail", atau dalam tradisi jawa kuno mempraktekan keheningan. Teman-teman pasti mengerti apa yang saya maksud. Terus terang jika diberkahi, orang akan tahu apa yang diinginkannya dan dimudahkan dalam mencapainya, beberapa sahabat saya yang lebih tua merasakannya sendiri.
Lalu bagaimanakah cirinya suara asli dan suara palsu yang ragu-ragu? nah katanya sih untuk inipun kita diberi kemampuan membedakannya, tetapi jika cirinya seperti dibawah ini (seperti biasanya disarikan dari berbagai sumber), maka boleh jadi ini suara asli.
1. Jika Suara itu menyeru kepada kebenaran dan tujuannya untuk kebaikan kita sendiri.
2. Jika berdasarkan ketulusan/ tanpa pamrih.
3. Penuh kejujuran, apa adanya, kadang menyakitkan karena tidak sesuai dengan keinginan kita.
4. Memberikan gambaran dari sudut yang berbeda sehingga pengetahuan kita, kesadaran dan pemahaman kita bertambah.
5. Memiliki getaran yang sangat kuat, sehingga kita kadang merasa sesuatu mengganjal bila belum mematuhinya.
6. Memberikan ketenangan.
Dan musuhnya sang suara asli adalah kemalasan, ragu-ragu dan ego, dengan kata lain hambatan yang paling kuat adalah di diri sendiri juga.
Mempraktekan keheningan itu sulit, bangun malam itu juga sulit, namun bukankah semakin sulit semakin berharga juga apa yang kita dapatkan?
Salam Hangat,
Foto diambil dari National Geographic
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar