Kamis, 28 Februari 2013
Life of Pi, Memenangkan Hidup
Blaaaarr!! Seketika langit bercahaya, dan semua kegelapan sirna. Cahaya biru laut memenuhi semesta, ombak bergulung-gulung, samudera mengamuk seperti hendak melumat apapun yang melewatinya. Sementara di permukaan, sebuah sekoci yang didalamnya seorang remaja tanggung dan seekor harimau bengali terlempar membentur-bentur dinding sekoci. Pada puncak kepasrahannya, Pi, -si remaja tanggung- berteriak "Aku sudah kehilangan keluargaku, aku sudah kehilangan semuanya, Tuhan, aku menyerah, apalagi yang Kau inginkan?"
Airmata pun meleleh... Itulah sepenggal adegan di film Life of Pi, film yang diadaptasi dari novel karya Yann Martel dan disutradarai oleh Ang Lee. Dari awal sampai akhir film ini di penuhi dengan cahaya-cahaya yang menakjubkan!
Bukan hanya gambar-gambar indah, penggalan perenungan, pertanyaan-pertanyaan serta pendapat Pi, seolah mengandung cahaya! Disaat Pi mengajukan pertanyaan, dia dihadapkan pada suatu kondisi yang memandunya menemukan jawaban. Disaat Pi merenungkan hidupnya ia menemukan kebijaksanaan. Jika hidup adalah sebuah perjalanan spiritual, maka Life of Pi adalah perjalanan menemukan 'keberadaan' Tuhan.
Menyaksikan Life of Pi kita seperti disadarkan "Sebenarnya ketika kondisi telah mencapai titik terendah, Tuhan hadir atau tidak?".
Pertunjukan mental tingkat tinggi
Inti cerita dimulai saat kapal kargo yang dinaiki Pi tenggelam di laut pasifik. Yang masih selamat adalah Pi bersama seekor harimau bengali, seekor zebra, seekor hyena dan seekor orang utan. Satu persatu hewan-hewan itu mati dan yang tersisa hanya Pi dan Richard Parker, si harimau bengali yang ganas.
Kondisi hari ke hari Pi sangat jauh dari aman. Setiap saat ia harus tetap terjaga agar tidak dimangsa oleh sang harimau. Perjuangan Pi melawan rasa kehilangan, kesepian, kesedihan, ketakutan, kemarahan dan ingatan-ingatannya pada sang kekasih digambarkan dengan sempurna. Disini pertunjukan mental tingkat tinggi sebenarnya. Diantara hidup dan mati, diantara keluasan samudera -yang ujungnya entah ada dimana-, diantara keterbatasan sumber daya, minimnya pertolongan, keganasan alam, Pi memutuskan untuk tetap melanjutkan hidupnya, berharap suatu saat nanti, entah kapan dan dimana ia bisa berkumpul lagi dengan keluarganya. "Above all don't lose hope" ucapnya berulang-ulang.
Keyakinan, mungkin itu gambaran utuh hidup Pi. "After all you cannot know the strength of faith until it has been tested" ujar Pi. Ya keyakinan itu tidak berada pada buku teks sekolah, atau tersimpan rapi sebagai tulisan di dalam kitab suci, melainkan suatu sikap mental. Bagaimanapun keyakinan adalah ujian. Selama 277 hari terombang ambing di permukaan samudera yang ganas juga harimau yang tak kalah ganas, namun mampu bertahan dan akhirnya berlabuh di Meksiko tak menyurutkan keyakinan Pi, bahkan terus bertambah kuat. Tuhan Maha Melihat.
Ketika menemukan pulau terapung namun beracun, Pi bergegas. Ia bertekad untuk ditemukan. "Disaat semua tampak mustahil, Tuhan memberiku istirahat juga tanda-tanda bahwa aku harus meneruskan perjalananku" ujar Pi.
Memenangkan hidup
Tidak mudah membayangkan diri menjadi seorang Pi. Pi adalah pemenang kehidupan. Lihat lah! alih-alih dihancurkan oleh kepedihan hidup, Pi berusaha mempertahankan kehidupannya. -Dalam usahanya mempertahankan hidup-, alih-alih membunuh harimau bengali yang ganas Pi berbalik menyayanginya dan menjalankan hidupnya dengan berbesar hati, berbagi, berbuat adil serta mengisi setiap sisi manusianya dengan harapan. Alih-alih menceburkan diri ke laut, -mengakhiri hidupnya-, Pi berusaha menemukan makna disetiap kejadian, menghormati Misteri Agung yang menyertainya. Berusaha memahami setiap tanda-tanda. Dan tersadarkan. Tapi yaa itu dia, lebih mudah menonton Pi dan semua kesukarannya daripada menghadapi masalah kita sendiri, masalah sehari-hari yang juga butuh mental baja. Kehidupan pribadi yang juga harus dimenangkan, sampai ajal memanggil.
Kembali ke Pi yang telah kehilangan keluarganya, meskipun kehilangan segala-galanya tetapi memastikan untuk tidak kehilangan harapan. Harapanlah yang membuatnya terjaga, tetap awas. Kelak hidup menawarkan banyak hal. Suatu saat, entah kapan. Dan benar saja. Suatu saat di ujung lorong yang tak terduga ia ditemukan selamat dan melanjutkan hidup, setiap kesulitan selalu diapit dua kemudahan, demikian Tuhan berkata.
Lalu dimanakah keberadaan Zat yang di sebut Tuhan itu? Misteri Agung yang memenuhi semesta, Sang Jiwa yang melingkupi seluruh jiwa seperti yang dilihat Pi pada mata Richard Parker, atau pada ubur-ubur yang memantulkan cahaya.
Dimanapun kita akan selalu menemukan-Nya. Di sini, di sana, di hutan tersembunyi, di pulau terapung, Bali, Bengali atau Abu Dhabi bahkan di dalam diri.
Salam hangat,
Sabtu, 31 Maret 2012
Pertapa Yang Pemanah
Dalam dua tahun ini kita terlalu banyak disuguhi drama. Dan apa yang kita lihat, baca, dengar lebih banyak mengecewakan, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada teman yang bilang "kenapa harus ribed mengurusi hal-hal semacam itu?”, well, tidak bisa dipungkiri bahwa rakyat seperti saya terutama menengah ke bawah akan selalu mendapatkan efek yang paling berat dari setiap keputusan yang tidak populis! Menaikkan harga BBM misalnya. Dan upaya pencegahan dari semua elemen masyarakat bisa kita lihat sebagai upaya agar jangan terlalu banyak rakyat menurun lagi kualitas hidupnya.
Buat orang kebanyakan seperti saya, apa yang tersaji di televisi dan koran sudah sangat membingungkan! Bagaimana kasus korupsi milyaran-triliyunan melenggang berlarut-larut. Tersangka tidak juga menjadi terdakwa dan dihukum setimpal! Melainkan bebas mengatur kapan jadwal liburan dan bepergian, sementara di satu sisi Pemegang Amanah dengan bangga menaikan harga-harga! Sungguh mencolok mata dan menyakiti!
Kita lantas bertanya-tanya pemimpin model apakah yang sedang berkuasa disini? Begitu banyak tabir pekat yang menghalangi ruang keadilan berkembang seluas-luasnya, lalu kita berpikir bahwa ia terlalu lemah untuk menghalau semua gelap sendirian, tetapi kita pun telah mengetahui bahwa kelemahannya karena ia tersandera. Satu tangannya memegang pedang, sementara kakinya diikat! Di ikat karena ulah sendiri.
Pemimpin Yang Bebas
Tidak mudah menjadi pemimpin yang sepenuhnya bebas. Tetapi jalan menuju kesana bukanlah hal mustahil, jika kita membaca sejarah kita seperti disuguhi cerita negeri dongeng dan di akhir bab kita selalu menyimpulkan bahwa pemimpin yang sempurna adalah takdir, tanpa menghayati bahwa begitu banyak kerumitan didalamnya. Contoh ini saja “Jika Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya…” kita membaca tanpa melibatkan pergulatan batin orang yang mengucapkannya. Siapa Fatimah? Kenapa anak sendiri harus dipotong tangan? Bukankah dirinya pemimpin yang bisa dengan enteng mencari-cari alasan, lalu mangkir? Kenapa beliau tidak melakukannya?
Dari cerita itu kita lantas menyimpulkan: ketegasan awal dari seorang pemimpin seperti ini akan membebaskan dirinya sekaligus membebaskan ruang keadilan berkembang sempurna. Integritas! itulah kekuatan awal yang membebaskan!
Pemimpin Yang Hening
Kita sudah membaca ini berkali-kali. Dan sejarah, mitos, cerita-cerita selalu menerangkan hal ini, hal ihwal menjadi seorang Raja atau Pemimpin.
Seorang calon pemimpin selalu mengambil jalan tersulit dan terhening yang pernah ada. Ada yang pergi menyendiri ke gua berkilo-kilometer jauhnya untuk mendapatkan kejernihan batin. Ada yang mengasingkan diri bertahun-tahun sembari membantu masyarakat di sekitarnya. Ada yang menjauhkan godaan duniawi untuk bisa bersih memandang hidup apa adanya sekaligus berusaha memperbaikinya. Semua dimulai dari mengambil jalan tersulit: Mengheningkan diri!
Brahmana Yang Memegang Busur
Ketika Arjuna menyepi ke gunung Indrakila untuk mengheningkan bathin, turun dari istana gading memerangi para raksasa, mencari tempat sepi, bermeditasi, melawan godaan tujuh bidadari ini tidak di pahami sebagai cerita wayang pengantar tidur. Kisah ini dituturkan untuk membantu kita memahami wilayah abu-abu di dalam jiwa yang sulit diungkapkan, namun memperngaruhi pikiran dan perilaku kita sehari-hari. Begitu pun cerita-cerita dalam kitab suci dimaksudkan agar manusia memiliki kekuatan untuk bisa melawan raksasa-raksasa pribadi mereka, orang-orang jahat didalam diri, ikatan kekeluargaan yang karenanya seorang pemimpin sulit memutuskan hukum yang seadil-adilnya.
Kiyai yang Pejuang, Brahmana yang Ksatria. Sehingga bila datang waktunya melepaskan panah ia akan melakukannya karena prinsip-prinsip keadilan semata!
Adakah yang seperti itu sekarang?
Yang jelas kita tidak bisa mengharapkan orang lain untuk menjadi pertapa sekaligus pemanah, semua dimulai dari diri sendiri.
Selamat menjalani hening dan belajar memanah :D
salam hangat
Gambar :Google "Hou Yi shooting the sun"
Jumat, 23 Desember 2011
Inner Power
Sudah di penghujung tahun lagi…ah alangkah cepatnya. Dan blog ini sudah dua bulan gak diurus, hehe…
Bagian yang paling saya sukai dari koran terbesar di negeri ini adalah foto-fotonya yang menawan, seperti beberapa hari lalu dalam satu buah foto yang dimuat, terlihat seorang biksu Tibet yang sedang menutupi mukanya dengan sejenis kipas sementara di seberangnya terlihat serdadu China sedang berjaga-jaga. Saya mencoba mengira-ngira sebenarnya yang sedang dihindari biksu Tibet ini, sengatan matahari kah? Atau ketiga serdadu itu? Melihat lagi dari dekat mimik mukanya, apakah ada kegetiran? Khawatir? Atau…?
Saya jadi ingat dialog antara Neo dan Oracle dalam film Matrix. “Apakah yang paling diinginkan seorang penguasa?” Tanya Oracle. Neo menggelengkan kepalanya dan Oracle menjawab sendiri pertanyaan yang diajukannya “Lebih banyak lagi kekuasaan!”. Ya kekuasaan.
Tetapi sekarang kita tidak akan membicarakan kekuasaan-kekuasaan yang bersifat luaran melainkan kekuasaan yang telah ada di dalam diri kita sendiri.
Tahun ini terus terang adalah tahun yang sangat luarbiasa bagi saya. Tahun yang paling menyenangkan sekaligus paling menyedihkan. Tahun yang membawa saya turun naik dengan ekstrim. Tahun yang membuat saya bisa tertawa sekaligus menunduk dalam-dalam, terutama karena kesedihannya, rasa sakit dan kematian dua orang kerabat keluarga kami.
Sempat terhuyung beberapa saat. Sempat sesak napas agak panjang, namun kemudian menyadari terlalu banyak melawan, memukul, menendang (baca: tidak ikhlas, banyak bertanya, ngotot, banyak menyalahkan) ternyata tidak saja membuat pemulihan semakin lama tetapi lebih jauh: membuat hidup semakin memburuk!.
Diam Saja
Lalu ketika berhenti melawan, memukul, menendang, lebih banyak diam dan mulai memasuki pasrah dan menyerahkan diri tiba-tiba segala rasa sakit itu perlahan-lahan menghilang!. Pada peristiwa yang sudah terjadi belajar ikhlas, berhenti menyalahkan orang lain, diri sendiri, lebih-lebih Yang Maha Kuasa.
Dititik itu, mengerti bahwa orang lain dan saya sudah berbuat yang terbaik! Bahkan Tuhan juga meski dangan cara-Nya yang teramat misterius. Jika semuanya bekerja lantas kenapa harus menyalahkan?
Dalam sesuatu yang tampaknya diam sesungguhnya tidak benar-benar diam. Dia bergerak, bekerja dengan cara yang mungkin tidak terpikirkan.. ya beberapa hal baru bisa ditemukan jika kita mau diam sejenak.
Kejernihan akan ditemukan jika kita mulai mampu mengistirahatkan pikiran. Mendiamkannya sejenak untuk memunculkan yang lebih agung didalam diri kita sendiri.
Dan itu ada didalam area kekuasaan kita yang tidak kan sanggup direbut oleh siapapun, kecuali jika kita memang mengijinkannya. Sebuah inner power. Pilihan selalu berada di tangan kita: tenggelam atau menggunakan kekuatan menghadapi segala peristiwa dalam hidup.
Tahun selalu selesai setelah siklus 365 hari. Kadang ada pertanyaan apakah tahun-tahun yang berganti adalah sekedar pengulangan dari sebelumnya? Ataukah ia selalu baru? Apa yang berubah dari pergantian tahun? Peristiwa apalagi nanti?
Ketika saya mengamati lagi foto biksu itu, rupanya ia tidak sedang berduka tetapi menyipitkan matanya menghindari sengatan matahari.
Selamat berdiam diri sejenak, merenung dan bersinar...!
Salam Hangat.
:D
Foto: dok pribadi.
Kamis, 06 Oktober 2011
Listen
"Kehidupan tidak mendengarkan logikamu; kehidupan menempuh jalannya sendiri. Kamu harus mendengarkan kehidupan; kehidupan tidak akan mendengarkan logikamu, kehidupan tidak peduli akan logikamu" ~Osho
Ketika menulis ini, bisa dipastikan penulisnya sedang galau.
Hehe.. entah siapa yang mempopulerkan kata "galau" itu, tetapi yang jelas itu menggambarkan suasana hati yang sedang dirundung gundah gulana.
Setiap orang pasti pernah galau dalam hidupnya, yah setidaknya sekali dalam seumur hidup, pasti pernah berhadapan dengan kondisi yang satu ini. Galau juga identik dengan bimbang, ragu dan kebingungan. Bisa ragu karena terlalu banyak pilihan, atau bahkan bimbang karena tidak sanggup memutuskan, kondisi yang serba tidak menentu dan lain sebagainya.
Banyak orang yang telah sampai pada "menemukan apa yang diinginkan dalam hidup", tipe orang jenis ini tentu sangat beruntung, namun lebih banyak orang merasa "belum tahu apa yang diinginkan dalam hidup". Saya termasuk tipe kedua. Dan tidak merasa sedang kurang beruntung. Dan tulisan ini bukan pembenaran melainkan sebuah proses menemukan apa yang saya mau.
Kalo umur sudah memasuki usia dewasa, ya begini ini. Kadang suka ngehayal, gimana kalo saya hidup dipesantren saja, sebuah tempat yang didalamnya berisi para guru-guru spiritual yang siap menjawab setiap pertanyaan yang saya ajukan, saya tidak usah menjadi member klub Galauers lagi, karena jawaban para Guru tersebut pastilah sudah sangat paten! Tetapi, khayalan khas anak-anak ababil itu segera saya singkirkan jauh-jauh.
Bukankah setiap orang akan/harus melewati fase ini? bukankah setiap orang punya kegelisahan yang harus dijawabnya sendiri? dan daripada menyandarkan jawabannya kepada orang lain bukankah lebih baik jika kita berusaha menemukannya oleh kita sendiri?.
Mendengarkan Hidup
Ketika hiburan semakin banyak, ketika gadget sudah semakin canggih, ketika kemauan saling berkejaran, orang-orang tua jaman dulu menganjurkan agar kita tidak coba mencari jawaban pada semua itu, melainkan mencarinya diantara malam atau tempat-tempat yang sepi. Menarik diri dari hal-hal yang bersifat "luaran" untuk mendengarkan apa keinginan sebenarnya yang ada di "dalam", oleh sebab itu sebagian orangtua akan menyarankan anaknya (bukan menyuruh, melainkan harus kehendak diri sendiri) untuk melaksanakan "Lail", atau dalam tradisi jawa kuno mempraktekan keheningan. Teman-teman pasti mengerti apa yang saya maksud. Terus terang jika diberkahi, orang akan tahu apa yang diinginkannya dan dimudahkan dalam mencapainya, beberapa sahabat saya yang lebih tua merasakannya sendiri.
Lalu bagaimanakah cirinya suara asli dan suara palsu yang ragu-ragu? nah katanya sih untuk inipun kita diberi kemampuan membedakannya, tetapi jika cirinya seperti dibawah ini (seperti biasanya disarikan dari berbagai sumber), maka boleh jadi ini suara asli.
1. Jika Suara itu menyeru kepada kebenaran dan tujuannya untuk kebaikan kita sendiri.
2. Jika berdasarkan ketulusan/ tanpa pamrih.
3. Penuh kejujuran, apa adanya, kadang menyakitkan karena tidak sesuai dengan keinginan kita.
4. Memberikan gambaran dari sudut yang berbeda sehingga pengetahuan kita, kesadaran dan pemahaman kita bertambah.
5. Memiliki getaran yang sangat kuat, sehingga kita kadang merasa sesuatu mengganjal bila belum mematuhinya.
6. Memberikan ketenangan.
Dan musuhnya sang suara asli adalah kemalasan, ragu-ragu dan ego, dengan kata lain hambatan yang paling kuat adalah di diri sendiri juga.
Mempraktekan keheningan itu sulit, bangun malam itu juga sulit, namun bukankah semakin sulit semakin berharga juga apa yang kita dapatkan?
Salam Hangat,
Foto diambil dari National Geographic
Senin, 01 Agustus 2011
Yin-Yang
Paling susah kalau sudah ditanya tentang masa depan.
Pertama saya bukan seorang clairvoyance yang bisa nerawang jauh kedepan, yang kedua pertanyaan serupa sering terlontar di benak saya dan belum punya jawaban yang memuaskan.
Beberapa waktu lalu ketika sedang melakukan perjalanan yang cukup jauh, teman duduk saya adalah seorang mahasiswa semester dua. Sebut saja Yudha, berasal dari Bandung. Yudha galau berat. Cita-cita setelah lulus adalah bekerja. Jika sudah bekerja ingin mandiri, dan ingin sekali memberikan sesuatu buat kedua orang tuanya. Setelah ngobrol banyak akhirnya nanya:
”Apakah pasar tenaga kerja di Indonesia masih banyak kang?”
”Gimana kalo saya kesana-kesini, tetep gak dapet kerja?”
”Apa cita-cita saya akan kesampaian?”
Dan saya pun nyengir.
Bingung bagaimana jawabnya.
”Lha bukannya orangtua mu berkecukupan? Kenapa masih galau?” pancing saya.
”Yah, itu kan orang tua saya kang. Saya pengen mandiri, sudah gak mau ngerepotin lagi”
Mengagumkan buat saya (Diusia semuda itu menjawab seperti itu, bahkan lulus saja belum).
Dan karena tidak mau membuatnya kecil hati, akhirnya pertanyaan-pertanyaan tadi saya jawab juga. Bahwa sekarang Yudha baru tingkat dua, itu artinya perlu sekitar dua-tiga tahun lagi untuk lulus, pada saat itu ekonomi negara kita pasti sudah melesat tajam, saya paparkan bahwa sekarang saja menurut BPS pertumbuhan ekonomi hampir mencapai enam persen, di saat negara-negara lain minus pertumbuhan. Jadi saat dia lulus mungkin pertumbuhan ekonomi negara kita akan mencapai tujuh atau delapan persen itu artinya tak ada yang harus dikhawatirkan lagi. Saat itu Yudha mengangguk-angguk tanda mengerti. Dalam hati saya lalu mengamini, semoga saja hal itu benar adanya.
Dan karena tidak mau meramal-ramal lagi, topiknya saya alihkan ke yang lainnya. Selanjutnya ia bercerita tentang kegiatannya sehari-hari.
Memulai Hidup
Saya tentu saja pernah/sering ada diposisi Yudha. Melihat perkembangan sekarang yang berubah dengan cepat, pastilah menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran. Banyak pertanyaan, apakah semua akan membaik? Bagaimana bila semua malah memburuk? dan sebagainya.
Dalam bukunya ”The Leader In You”, Dale Carnegie memaparkan tentang bagaimana sebuah perubahan selalu disertai dengan kecemasan pada manusia. Di jamannya, Dale yang memperhatikan dunia bisnis telah mengamati dengan saksama bahwa dunia bisnis adalah suatu hal yang mudah goyah. Perusahaan-perusahaan yang tadinya dianggap tangguh sekarang terguncang, kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik dan energi lainnya, banyak memukul pelaku usaha. Tak terhitung banyaknya perusahaan-perusahaan yang telah punya nama tumbang dan menghilang. Hal semacam itu masih relevan hingga sekarang. Dan bagi kami generasi muda kecepatan perubahan itu membawa kecemasan. Terutama bila perubahan itu semakin doyong ke kiri – ke kanan lalu ambruk.
Saat ini harus diakui bahwa kita berada dalam kondisi yang sangat berat dan sulit, dulu mungkin nenek moyang kita pandai membaca tanda-tanda zaman dengan mencocokkan rasi bintang, bertani untuk memenuhi hidupnya sendiri, mempersiapkan diri bila gagal panen, membuat perencanaan jika datang kemarau panjang, lalu merasa cukup dengan apa yang telah ada. Dulu banyak hal bisa di prediksi. Sekarang?.
Banyaknya ketidakjelasan membuat kita mau tidak mau harus beradaptasi. Kondisi politik, sosial, ekonomi saat ini membuat banyak generasi sekarang merasa pesimis, ditambah drama-drama yang membuat kita tambah apatis, sebenarnya mau dibawa kemana rakyat ini?.
Seminggu lebih ada didesa membawa banyak sekali pelajaran. Dan pelajaran pertama adalah belajar untuk tidak khawatir. Meski TV orang-orang desa itu di bombardir dengan informasi yang rumit kalau tidak mau disebut menyedihkan, tetapi orang-orang desa ini tetap waras, tetap bekerja seolah tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk yang tersaji di televisi. Yang punya sawah sibuk di sawah, yang tiap pagi berjualan di pasar tetap ke pasar, di balik rutinitasnya itu mungkin yang terpikir adalah bahwa kita tidak bisa hidup di masa yang sudah lalu, juga tak mungkin sampai di hari esok tanpa melalui hari ini. Jika yang ada hanya saat ini bukankah lebih baik bersiap-siap untuk hari esok?.
Pelajaran kedua adalah mempercayai hukum-hukum keseimbangan. Perlu waktu beberapa bulan sampai padi menguning, namun sebelum itu ada pekerjaan besar yang harus dilakukan: membajak sawah, mencari sumber air, menyiapkan pupuk dan lumbung. Tak susah menghitung seberapa kerugian jika panen gagal, tidak takut padi habis oleh hama atau harga gabah yang bisa saja turun drastis. Matematika nya tidak rumit: kita tidak usah mengkhawatirkan dengan hal-hal yeng belum atau bahkan tak pernah terjadi. Tetap bekerja, tetap maju, barangkali masalah yang akan muncul tidak separah yang kita bayangkan.
Yang ketiga adalah menerima kenyataan. Kadang panen tidak selalu berhasil, kadang jengkel dengan harga pupuk atau kurangnya sumber air, lebih parah hama menghancurkan segala usaha yang dibangun selama beberapa bulan ini.
Kita tidak selalu bisa menang dalam segala hal, tidak bisa cukup pengetahuan mengenai alam ini. Tetapi sikap menerima apapun yang akan terjadi adalah langkah awal untuk mengatasi konsekuensi dari ketidakberuntungan.
Kadang sesuatu itu tidak terelakan, alternatifnya adalah kekecewaan, namun jika mau berhenti sejenak, mulai menerima semua yang tak terelakan biasanya kita akan punya waktu, energi dan kreativitas untuk memecahkan masalah-masalah yang mungkin timbul.
Ah maafkanlah saya, maksud hati hanya ingin berbagi. Mudah-mudahan ada manfaatnya.
Salam hangat.
Langganan:
Postingan (Atom)