Rabu, 17 Februari 2010
Dewa Ruci
Assalamualaikum, Haloo, Salam sejahtera
Begini nih kalo nonton tv cuman seminggu sekali, gak update !!. Banyak informasi hanya didapat dari nge net di ponsel. Dan selalu dua hal : Pertama, saya tidak melahap semua informasi dan ini saya syukuri sekali, karena dengan ngenet saja pun sudah cukup tahu perkembangan dunia. Ngenet di ponsel juga berarti saya bisa memilih-milih informasi yang ingin saya ketahui saja. Yang kedua, nah itu tadi tidak update alias agak gak mudeng, sering juga yang penting-penting terlewatkan. Tapi ya sudahlah, saya pikir too much information juga bisa mempengaruhi pikiran. Bener gak ?.
Dan memang luar biasa kasus-kasus yang ada sekarang, kalo gak bikin ngeri, eneg, geleng-geleng kepala, sampe yang akan mengelus dada sambil istighfar.
TV cuman buat nonton wayang kulit dan kartun. Dan sudah kebiasaan. Mungkin karena ayah saya, yang "keranjingan" nonton lakon-lakon wayang tersebut, beliau bahkan akan bela-belain bangun tengah malam, untuk sekedar melihat siapa dalang nya. Dan saya pun biasanya akan ikutan nonton. Bukan "keranjingan" tapi VOLUME nya itu lho ! mau ngga mau mendingan nonton sekalian.. hehe. Oke ini dia.
Malam itu lakon nya adalah DEWA RUCI. Tulisan ini juga saya sarikan dari berbagai sumber.
Kita mulai dari sosok bernama Bima.
Dari keenam putra Kunti Nalibrata (Adipati Karna dihitung), Bima adalah sesosok kesatria berbadan besar. Bima lahir dari hubungan Kunti dan Dewa Bayu. Sejak kecil hingga dewasanya dia memang istimewa, sering digambarkan sebagai tokoh yang kuat, seseorang yang kasar dan menakutkan bagi musuh. Walaupun demikian sebenarnya hatinya sangat lembut. Lupakan Yudistira yang bijak, bukan Arjuna yang tampan, juga bukan sikembar Nakula -Sadewa. Ialah Bima yang demikian rajin membantu Drupadi dalam urusan rumahtangga saat mereka diusir jauh ke tengah hutan karena kalah judi. Sifat ini digambarkan Dewi Drupadi menjelang ajalnya, bahwa diantara kelima suaminya, ternyata Bima adalah suami yang paling sensitif.
Kisah Dewa Ruci ini rasanya akan jadi favorit saya. Betapa tinggi nilai filosofinya, betapa kuat pesan yang hendak disampaikan. Karena sebetulnya serat Dewa Ruci ini sangat panjang dan sufistik sifatnya (lihat websitenya alang-alang kumitir wordpress com) maka saya mengambil yang pas-pas saja, supaya aman.
Dimulai dari Amarta. Karena ingin menguasai kerajaan Hastina kaum Kurawa (Duryudana CS) bersekongkol dengan guru mereka Dronacharya untuk melenyapkan Bima. Perintah Dronacharya sangat jelas pada Bima, segera temukan sumber air kehidupan, Tirta Pawitra. "Siapapun yang menemukan air kehidupan maka ia akan mencapai kesucian dan kesempurnaan", begitu pesan sang guru. Maka sebagai puja bakti pada gurunya dimulailah misi ini. Keluar masuk hutan ganas, membunuh dua raksasa pun dilakoninya, tapi air kehidupan itu tak ada disana. Bima pun kembali ke gurunya untuk meminta petunjuk, dan Drona memastikan bahwa kali ini ia tak akan gagal melenyapkan Bima dengan menyuruhnya mencari air itu ke tengah laut selatan yang dihuni naga Nemburnawa yang sakti.
Ditepi samudra biru Bima termangu. Tak ada siapa-siapa disana, sementara dari kejauhan Dewa Ruci memandangnya dengan iba, ya tirta pawitra itu mitos, tidak pernah ada. Dewa Ruci menghampiri sambil menyapa :
"Apa yang kau cari, wahai Bima, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini. Di tempat sesunyi dan sekosong ini."
Sang Bima terkejut dan mencari ke kanan kiri, setelah melihat sang penanya, lalu ia bergumam: "Makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi. Kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?"
"Serba sunyi di sini, mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini, sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya". lanjut Dewa Ruci seraya membaca pikiran Bima.
Sang Bima semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa.
"Ah, gelap pekat rasa hatiku. Entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. Dan siapa sebenarnya aku ini," tanya Bima
"Ketahuilah anakku, akulah yang disebut Dewa Ruci, atau sang Marbudyengrat, yang tahu segalanya tentang dirimu, kau anak Kunti, keturunan Wisnu yang hanya beranak tiga, Yudistira, dirimu, dan Arjuna. Yang bersaudara dua lagi Nakula dan Sadewa dari ibunda Madrim si putri Mandraka," jawab Sang Dewa Ruci.
"Datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang Drona, untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini." berkata Sang Dewa Ruci.
"Bila demikian, wejanglah aku seperlunya, agar tidak mengalami kegelapan seperti ini. Terasa bagai keris tanpa sarungnya," ujar Bima.
"Sabarlah anakku, memang berat cobaan hidup. Ingatlah pesanku ini senantiasa : Jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipinya, jangan memakai sebelum tahu itu pakaianmu,
tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan. Janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas. Bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan," berkata Sang Dewa Ruci.
" Wahai Dewa Ruci, tahulah sudah di mana salah hamba. Bertindak tanpa tahu asal tujuan. Sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka," lanjut Bima pasrah.
"Nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku," kata sang Marbudyengrat.
Sang Bima tertegun tak percaya mendengarnya.
"Ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya. Paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit. Kelingking pun tak akan mungkin muat.
"Wahai Bima si dungu, anakku. Sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? Seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku. Jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam. " jawab Sang Dewa Ruci.
Mendengar ucapan sang Dewa Ruci, sang Bima merasa kecil seketika. Dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang Dewa Ruci.
"Hai Bima, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana," ujar Dewa Ruci.
"Hanya tampak samudera luas tak bertepi," ucap sang Bima. "Alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung, tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang," ujar Bima lagi.
"Janganlah mudah cemas," ujar sang Dewa Ruci. "Yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan Yang Maha Kuasa".
Dalam seketika sang Bima menemukan arah mata angin dan melihat surya. Setelah hati kembali tenang tampaklah sang Dewa Ruci di jagad walikan.
"Hai, Bima! Ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan," ujar Dewa Ruci.
"Awalnya terlihat cahaya terang memancar, " kata sang Bima. "Kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. Apakah gerangan semua itu?" tanya Bima.
"Ketahuilah Werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, penerang hati, penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. Cahaya empat warna, itulah warna hati. Hitam, merah, dan kuning adalah penghalang cipta yang kekal. Hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki. Hanya si putih lah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam. Namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain. Sendirian melawan tiga musuh abadi, Hanya atas pertolongan Tuhan lah si putih akan sanggup kau menangkan" Jawab Dewa Ruci.
"Sebelum hal itu dijelaskan," kejar sang Bima. "Hamba tak ingin keluar dari tempat ini, Serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya".
"Itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai Werkudara," jawab Dewa Ruci.
"Dan mengenai Tuhan, engkau akan menemukannya sendiri. Setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala usaha serta mampu bertahan dari segala godaan. Di saat itulah kau akan menyadari. Dan batinmu akan berada di dalam Dia".
"Anakku, janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu. Lakukan, amalkan, terapkan apa yang telah kau ketahui, jangan hanya mempercakapkannya belaka. Jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini. Jangan pernah punya sesembahan lain selain Sang Maha Suci. Pakailah senantiasa pengetahuan ini. Pengetahuan lainnya adalah pengetahuan antara, yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati. Tujuan hidup adalah mencapai yang kekal. Di dunia ini semuanya akan berlalu, tak perlu lagi segala aji kedigjayaan atau kesaktian, semuanya sudah termuat di sini" lanjut Dewa Ruci sambil menunjuk ke hati nya.
Maka selesailah wejangan sang Dewa Ruci. Sang guru merangkul sang Bima dan membisikkan segala rahasia rasa. Terang bercahaya seketika wajah sang Bima menerima wahyu kebahagiaan.
Kini ia bagaikan kuntum bunga yang telah mekar, menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta. Dan Byaaar ! Dewa Ruci hilang bersama cahaya surya, seketika sang Bima sudah berada di tepian samudera. Terasa segar dan tercahayai. Ia siap menjalani hidup dengan semangatnya yang baru.
Apakah yang dibisikan sang Dewa Ruci pada Bima ?? tak ada yang tahu. Tapi dalam bayangan imajiner saya, saya sempat melihat gerak bibir Dewa Ruci. Begini bunyinya :
"Barang siapa mengenali dirinya, maka ia akan mudah mengenali Tuhan nya".
Gak bisa lebih padat lagi, sebab itu inti cerita nya. Disini Dewa Ruci mengajari Bima untuk mengenali diri sendiri, dia diajak jujur melihat dirinya, melihat segala sifat manusianya, bukankah panglima perang sehebat SunTzu juga mengatakan bahwa mengenali kekuatan dan kelemahan diri adalah langkah awal kemenangan ? menang dalam hal apa ? yang jelas menang dalam hidup di dunia yang serba relatif ini.
Berbeda dengan Drona yang memerintahkannya untuk mencari sesuatu yang tidak ada di luar sana, sang Dewa malah menyuruhnya mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Dan lihatlah, sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, nafsu amarah (hitam), nafsu angkara (merah), nafsu memiliki (kuning) dan nafsu yang tenang /mutmainah (putih).
Dewa Ruci berpesan kepada siapapun yang telah mendapatkan pengetahuan (baca: menuntut ilmu) adalah wajib untuk mengamalkan semua ilmunya dari pada hanya membicarakannya.
Dan tentang bagaimana menemukan Tuhan ditengah pilihan yang serba tidak mudah seperti sekarang, dimana segala kesulitan terus bertambah-tambah, bencana datang tak berhenti, lalu segenap usaha menemui kegagalan. Mundurlah sejenak, dan mulailah menyadari. Ya, sesuatu yang lebih besar, lebih berkuasa dari diri kita sendiri, sesuatu yang "mengatur" disana. Bukankah kesadaran itu seharusnya menggiring kita bahwa tidak ada daya upaya melainkan pertolongan -Nya ?.
Inikah yang di maksud, bahwa kita akan menemukan-Nya sendiri ??
Selamat mengenal diri !
Langganan:
Postingan (Atom)